Kartu yang begitu banyak hingga menyerupai hujan beterbangan dari dalam topi tinggi yang dipegangnya. Tuan Pesulap yang menunduk dan menghilang saat dihujani kartu-kartu tersebut langsung membuatku tahu bahwa pertunjukan baru saja berakhir.
Tanpa adanya sesi jumpa pers, orang-orang menaiki tangga menuju pintu keluar aula, sementara aku melawan arus lautan manusia tersebut. Cepat-cepat aku menyibak tirai yang menutupi panggung untuk mencari Tuan Pesulap. Ia pasti masih ada di belakang panggung.
Seorang penjaga mencengkeram kedua lenganku untuk menahan tubuhku. Mulutnya mengomeliku. Kurasa, ia bahkan bukan mencengkeram, tapi menggenggam kedua lengan atasku. Tenaganya besar, sebanding dengan ukuran otot di tubuhnya. Penjaga ini pasti akan mengusirku, tapi aku tak boleh berhenti begitu saja.
"Lepaskan dia."
Perintah tersebut terasa setenang air kolam—atau mungkin setenang samudera. Suaranya tidak meninggi, tapi bulu kudukku meremang karenanya. Kepalaku yang sebelumnya menunduk pun mendongak untuk melihat asal suara.
Pesulap yang kucari tengah berdiri di depanku, memandang lembut seakan tengah menyambutku. Ekspresi tenangnya mengatakan bahwa ia tak terkejut sedikit pun oleh kedatanganku. Pakaiannya masih lengkap dengan jubah dan topi. Tangan di belakang punggung.
Penjaga tadi melepaskan genggamannya dari lenganku, meninggalkan rasa berdenyut. Kuusapkan tangan pada bagian lengan yang berdenyut tersebut, sementara Tuan Pesulap masih memandangiku, menunggu penjelasan mengenai alasan serta tujuanku ke belakang panggung.
Aku mendongak, menatap langsung ke dalam matanya. "Izinkan aku berguru pada Anda, Tuan."
Ia memandangku lama dalam keheningan, dan aku terus membalas tatapannya. Hanya ada suara langkah para pekerja yang membersihkan peralatan-peralatan pertunjukan. Akhirnya ia menjawab, "Mengapa kau memintaku mengajarimu, Nak?"
"Aku sudah belajar dengan semua cara kecuali berguru. Aku ingin mengabulkan keinginan kakakku yang selalu mendukungku di antara larangan keluarga. Kalau bisa, aku ingin membawanya ke tempat di balik jubah Anda seperti yang Anda lakukan padaku. Seperti yang ia inginkan."
Sang pesulap terdiam. Senyum di bibirnya mengembang, semakin lebar dari sebelumnya. "Siapa namamu, Nak?"
Ia melepas jas dan topi tingginya. Sejenak mataku terfokus pada rambut keemasannya yang selama ini selalu tersembunyi di balik topi. Matanya yang berkilauan bagai permata sewarna dengan laut, membuatku merasa rambutnya seperti pasir di pinggir pantai.
"Alden."
Ia tersenyum lemah. Perlahan Tuan Pesulap berjalan ke arah kursi yang hendak dibawa salah satu petugas, membawanya tepat ke sisi dinding, dan duduk dengan tenang. Postur tubuhnya ramping, juga tidak bungkuk. Dagunya seakan menjaga wajah pucat tersebut supaya terus memandang lurus ke depan—tapi tak memunculkan kesan angkuh.
Suaranya yang tenang menjelaskan pada petugas tersebut untuk membawakan satu meja dan diletakkan di depannya. Setelah permintaannya dilaksanakan—membuat sebuah meja menjadi perantaraku dan Tuan Pesulap—ia menoleh padaku. "Tunjukkan trik yang bisa kamu lakukan, Alden."
Menunjukkan sulap yang bisa kulakukan ... pada seorang ahli?
Aku mengangguk dan mengeluarkan dek kartu dari saku. Tangan kiriku memegang dek dalam tertutup, sehingga angkanya menghadap ke bawah. Aku menyimpan kembali dua buah joker—satu hitam dan satu merah—yang terletak di paling bawah dek ke dalam kotak kartu.
Tanganku dengan cepat melakukan hindu shuffle pada dek tersebut, diikuti dengan riffle shuffle, dan menderetkan seluruh kartu di tanganku, menunjukkannya pada Tuan Pesulap.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...