Ibu.
Jenderal dengan pangkat tertinggi di rumah—karena dalam beberapa kasus, Ayah pun dibuat tunduk padanya.
Pakaian tempurnya adalah celemek.
Senjatanya adalah pisau dapur, dengan teflon lebar sebagai perisai.
Taktik andalannya adalah barrage. Bila barrage pada umumnya berupa hujan anak panah, barrage Ibu adalah hujan omelan yang infinity, tak memiliki batas banyak anak panah. Pertanyaan yang paling sering kutanyakan pada diriku sendiri adalah, “Kapan hujan dari barrage ini akan berhenti?” Persis seperti tadi.
Kalau Ibu adalah robot, menurut penilaianku, Ibu memiliki tiga mode utama dalam pengaturannya.
Mode satu disebut Mode Ramah. Sebagian besar dari waktu dua puluh empat jam—dipotong waktu tidur—dalam satu hari diisi oleh mode ini. Dalam mode ini, aku dengan senang hati menemani Ibu.
Mungkin saat di dapur atau meja makan, walau hanya menontonnya. Mungkin juga saat ia menonton drama di televisi. Seharian? Aku tak keberatan, sungguh.
Mode Ramah-nya membuatku merasa sangat bersyukur karena telah merasakan apa yang kadang diinginkan anak-anak lain. Ibu tak bekerja dan selalu ada untukku. Ia tak mengganti kehadirannya dengan uang.
Perhatian adalah perhatian.
Uang adalah uang.
Ibu membedakan dua hal tersebut, dan aku bersyukur karenanya.
Kurasa, Lei juga bersyukur tentang Mode Ramah Ibu, karena sudah beberapa kali kakakku itu mengatakan, “Well, setidaknya aku memiliki papan yang indah dan kokoh di kapal kehidupanku. Keluargaku utuh. Meski hanya untuk saat ini, aku tak mempermasalahkannya. Terkadang, papannya memiliki paku yang mencuat, membuatku merasa sakit. Orang-orang tak tahu aku berdarah karena sesuatu di papan kapal. Bahkan, mereka tak pernah tahu bahwa aku berdarah. Tapi, untuk papan kayu kapal yang masih utuh ini, aku ingin tetap tersenyum dan menjaganya supaya tak dipecahkan oleh ombak.”
Mode kedua ... oh, aku belum memberi nama padanya. Aku akan menyebutnya Mode 2.0—dibaca sebagai “two-point-O”. Mode 2.0 ini membuat rem di mulut Ibu mendadak blong, sehingga barrage andalannya keluar. Jangan tanya aku bagaimana bisa seperti itu, aku pun tak tahu.
Saat aku sampai di rumah, mode inilah yang menyambutku.Jujur saja, aku hanya bisa memaksakan senyum setiap kali mode ini aktif. Kecepatan bicaraku tak sanggup menyaingi jeda super singkat antar hujan panah dari mulut Ibu. Aku harus menunggunya berhenti.
Hanya Ayah yang sudah pasti berhasil me-non-aktif-kan Mode 2.0 Ibu selain Ibu sendiri. Terkadang Lei pun gagal.
Yang paling mengerikan kusebut Mode Nightmare. Kurasa mode ini berbeda-beda efeknya, tergantung pada siapa ia dikerahkan. Dan ... tak akan ada tombol off kecuali Ibu yang menginginkannya berhenti. Ayah saja tak bisa menghentikannya, apalagi Lei dan aku.
Terakhir kali aku menjadi sasaran, Ibu mengeluarkan isi lemari dan semua tempat-yang-bisa-menampung di kamarku. Semua isinya berserakan di lantai.
Itu tiga tahun yang lalu. Usiaku ... mungkin 11 atau 12. Baru mahir beberapa trik sulap super mudah.
Ibu memergoki aku melakukan trik “Boneka Berjalan” pada boneka beruang milik anak di ujung jalan. Bonekanya terjatuh, dan aku membuat boneka itu berjalan mendekati si anak. Aku hanya menggunakan senar transparan yang tipis untuk melakukannya—yang kuyakini tak berbahaya—dan percayalah, anak perempuan itu tertawa melihatku melakukannya.
Ibu yang melihatnya langsung mengajakku pulang, tapi ia diam di sepanjang jalan.
Tak ada barrage dari mulutnya, tapi aku bisa melihat api di matanya yang—kalau kata orang—berfungsi sebagai jendela hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...