"Aku tak akan mengiyakan saran Anda, Tuan," kataku pelan sambil memakai jubah dari tangan Tuan Pesulap, "tapi bukan berarti aku menolaknya."
"Baiklah." Tuan Pesulap berjalan memutariku. Kali ini, ia tak mengatakan apa pun sambil berjalan. Tepat sebelum ia mengangkat kain jubahnya sendiri di depan wajahku, ia mengatakan sesuatu. "Pilihan ada di tanganmu, Alden. Ingatlah bahwa tak ada yang bisa kamu percaya selain pikiranmu. Semoga beruntung."
Kegelapan mendadak menyelimutiku seiring diangkatnya kain jubah di depanku. Tak lama, cahaya terlihat. Begitu terang hingga membutakan mata.
Angin membuatku semakin sulit membuka mata. Embusannya yang semula begitu kuat terasa melembut, menggodaku dengan membelai leher yang tak diselubungi syal—hanya ditutupi kerah tinggi jubah pinjaman dari Tuan Pesulap. Tapi, aku lebih menaruh perhatian pada sekelilingku yang tak lagi terasa menyilaukan.
Tanah bersalju.
Di kejauhan terlihat gunung bersalju dan danau beku. Semuanya diselimuti salju. Tempat apa ini? Dan, yang lebih penting, mengapa salju? Di antara semua jenis tempat yang kakakku inginkan, ia memilih salju?
Apa tak ada tempat yang lebih indah untuk dikunjungi? Memang salju sangat indah, tapi hanya saat pertama kali. Semakin lama ia dilihat hanya akan membuat bosan. Kurasa prinsip baik atau buruk juga muncul dari sana.
Kalau semua orang baik, manusia tak akan mengenal kata buruk. Mungkin kata tersebut dikenal, tapi memiliki definisi berbeda dengan yang ada saat ini. Tunggu dulu .... Memangnya definisi dari kata buruk saat ini adalah apa?
Mungkin, ia memilih tempat ini karena di sini benar-benar sepi. Tak ada suara selain suara angin berembus. Tak ada satu makhluk pun di kaki gunung, ataupun di antara pepohonan hutan di belakang tubuhku.
Aku baru akan melangkahkan kaki saat melihat jejak kaki di depanku. Jejak Lei!
Cepat-cepat aku berjalan di sisi jejak tersebut, terus mengikutinya. Inikah rasanya menjadi detektif di kartun televisi yang menelusuri jejak kaki? Sekarang aku tahu mengapa tak pernah ada scene mengikuti jejak kaki di daerah bersalju—setidaknya dalam episode-episode yang telah kutonton. Ini terasa seperti mimpi buruk yang berlangsung terlalu lama! Bisa-bisa si detektif terjangkit hipotermia[1] kalau melakukan ini terus-menerus.
Lei sempat berhenti di pinggir danau beku bila apa yang dibilang jejaknya adalah kejujuran mutlak. Salah satu jejak kaki di pinggir danau yang menghadap ke arah danau terlihat lebih dalam dibanding yang lain. Aku memutuskan untuk melakukan juga apa yang—kelihatannya—sempat dilakukan kakakku. Memandang ke dalam danau beku.
Aku hanya melihat pantulan diriku.
Tak ada yang spesial.
"Kamu hanya belum berhasil bertemu bagian spesialnya, Al."
Aku langsung menoleh. Tak ada siapa pun di sini. Aku sendirian, dan aku tahu itu. Mengapa barusan aku mendengar suara Lei? Aku yakin dia memang pernah mengatakan kalimat tersebut sebelumnya, tapi bukan di pinggir danau beku sepertiku sekarang.
Aku mendengarnya ... saat Ayah mengajak kami ke sebuah kampus jurusan musik. Ada kompetisi permainan biola yang diadakan di sana, dan Lei wajib diajak untuk melihat permainan orang-orang.
Semua lagu yang dimainkan para peserta sama semua. Terdengar biasa saja di telingaku. Mungkin, karena semuanya memiliki permainan yang bagus, aku merasa semua ini terasa biasa. Kurasa karena melihat kebosananku, Lei mengatakan kalimat tersebut padaku—meski dalam memoriku yang asli, perkataan Lei cukup panjang.
Ia bilang, permainan mereka hambar karena tak ada perasaan dalam setiap tarikan bow. Aku hanya belum bertemu bagian spesialnya, dan rupanya Lei mengakui kalau ia pun belum menemukannya dalam kompetisi musik tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...