Aku menurunkan jubah perlahan. Mataku melihat deretan kursi penonton yang kosong. Kursi di aula teater kota. Udara pengap berdebu yang sama.
"Akhirnya kalian kembali. Hampir empat jam."
Suara Tuan Pesulap membuatku sepenuhnya lega. Tanpa menoleh, aku terduduk di panggung, lalu membaringkan tubuhku. Empat jam, dan aku merasa berada di sana bertahun-tahun. Terutama saat aku berjalan di atas kegelapan itu, rasanya benar-benar seperti selamanya.
Astaga! Aku lupa menanyakan arti dari tempat itu pada pria di dunia sihir tadi!
"Alden, berapa lama waktu kalian yang tersisa?"
Aku mengangkat jam saku milikku yang sebelumnya berada di saku. Aku melirik Lei sekilas sambil mengguncang jam. Lei mengerti maksudku. Ia mengambil jam miliknya dan mengulurkannya ke arahku.
Tuan Pesulap menunduk dan menerima kedua jam. Kedua tangannya membuka tutup jam bersamaan. Aku bisa mendengarnya terkesiap. Sesuatu yang jarang terdengar dari Tuan Pesulap.
Aku duduk, dan memandangi wajah Tuan Pesulap. Lei juga memandanginya. Aku tahu saat ini keinginan kami sama. Kami ingin Tuan Pesulap mengatakan apa yang dilihatnya.
"Baiklah, Alden dan ...." Perkataan Tuan Pesulap terhenti. Ia menoleh pada Lei, menanyakan nama Lei dengan menaikkan alis. Setelah Lei menyebutkan namanya, Tuan Pesulap melanjutkan perkataan yang terhenti. "Baiklah, Alden dan Leiro. Ceritakan apa yang terjadi di dalam sana selama empat jam ini, secara singkat saja. Bergantian, dimulai dari Alden."
Tanpa perlu pikir panjang, rentetan pengalaman selama beberapa jam terakhir keluar dari mulutku. Bagai air terjun yang mengalir dengan deras.
Semuanya kuceritakan tanpa berhasil kutahan. Kupastikan tak ada yang terlewat. Tuan Pesulap hanya mendengarkan dengan wajah seperti biasa—senyum tipis dan mata yang selalu tenang. Sementara itu, Lei beberapa kali ternganga dan tertawa.
Tepat saat aku berhenti bercerita, Tuan Pesulap menepuk tangannya singkat. "Ingin menuliskannya di buku catatanmu, Alden?"
Ya, aku akan menuliskannya pada X. Ia harus menyimpan pengalamanku yang ajaib ini. Ini akan menjadi bagian terpanjang di dalam X yang sekarang. "Mungkin nanti. Aku haus."
Aku berjalan ke belakang panggung. Pantry pasti memiliki air, walau tak ada makanan. Kuambil buku catatan dari dalam tas yang tempatnya tak berpindah sejak ditinggalkan beberapa jam lalu. Saat sampul buku catatan kubuka, selembar kertas jatuh.
Kartu nama.
Dari perempuan di pertunjukan Tuan Pesulap saat itu. Aku masih belum memberikannya pada Tuan Pesulap.
"Leiro, bila kamu tahu akan mati tak lama lagi, apa responsmu?" Pertanyaan Tuan Pesulap membuatku menghentikan langkah, dan memilih mendengarkan dari balik tirai.
"Tak ada." Lei tertawa kecil, membuatku menggigit bibir karena aku yakin Tuan Pesulap tengah bicara serius. "Tak ada yang bisa kuperbuat selain menuruti kematian. Tak ada gunanya melawan. Well, mungkin kematian tak seburuk itu."
"Kematian tak pernah buruk. Cara kita menghadapi kematian yang membuatnya terasa buruk, Leiro, dan ketakutanmu punya andil besar di sana."
"Ini ada hubungannya dengan jam saku yang ditetesi darahku oleh Alden, ya?"
"Kamu jauh lebih tahu jawabannya. Bukankah barusan aku sudah menjelaskan taruhan dunia sihir?"
"Mengapa Anda membiarkan Alden ke sana?"
"Tak ada yang bisa menghalangi tekad. Mengutip kata-katamu sendiri, tak ada yang bisa kuperbuat selain mendukungnya. Tak ada gunanya melawan pesulap utama dalam pertunjukan ini. Daripada merutuk dalam hati, bukankah lebih baik kamu mempersiapkan kematian terindah untuk dirimu sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...