Namanya Leiro Alderian. Kupanggil ia Lei.
Secara "non-formal", dia adalah kakak laki-lakiku. Kakak paling aneh yang kumiliki—oh, tentu saja aku tak pernah lupa! Kakakku hanya dia seorang. Dia pasti mengambil predikat kakak paling aneh sekaligus kakak paling normal yang kumiliki.
Dia normal sebenarnya. Dari luar, dia normal. Dia menyukai musik. Dia pernah menyukai gadis yang menjadi teman sekelasnya. Dia ekspresif dan ramah. Ya, dia normal ... kalau dilihat dari luar saja. Namun, kalau sudah mendengarnya perkataannya, aku yakin Lei pasti orang yang berbeda dengan Lei dalam cerita teman-temannya.
Perkataannya sering kuanggap melantur karena bahkan Ayah dan Ibu sering kali tak mengerti maksud setiap kata dari mulutnya. Padahal, sudah jelas kedua orang tuaku lebih mengenal Lei—yang lahir empat tahun lebih dulu dariku—dibanding aku mengenalnya.
Kadang Lei membicarakan laut atau samudera. Di lain waktu, langit dan bintang-bintang menjadi topik kalimatnya. Tak jarang ia menyebut perihal terowongan gelap, jalanan mulus yang rata, atau tanah kasar. Ada kalanya Lei sengaja menenekankan kata sifat yang ditemani objek aneh seperti melebur kerinduan, membekukan kenangan, atau memulihkan waktu.
Jangan tanya artinya. Hawa kehadirannya saja sering tak bisa kutangkap, apalagi arti perkataannya. Mungkin bagian otakku yang bertugas mengartikan perkataan dari telinga sudah sepakat untuk bernasib sama dengan penangkap-hawa-manusia di tubuhku.
Akan tetapi, itu bukan salahku, dan aku pun tak tahu harus menyalahkan siapa selain Lei sendiri.
Ia memang selalu datang tiba-tiba tanpa kusadari dan seenaknya pergi meninggalkanku bersama jutaan kebingungan. Kebiasaan yang—kuanggap—sangat buruk dan aku tak tahu trik untuk menghilangkannya. Lebih sulit daripada menghilangkan kerak di panci yang sering membuat Ibu mengomel sendirian di dapur.
Anehnya, dialah orang yang selalu mengertiku. Bahkan, ia tahu lebih banyak daripada Ibu dan Ayah karena aku tak bisa menceritakan tentang sulap pada orang tuaku.
Aku tak perlu mengatakan apa pun pada Lei jika butuh tempat bercerita. Cukup datang menghadapnya, dan dia langsung mengerti alasan kedatanganku.
Secara formal yang-tetap-tidak-formal, ia adalah klien pertamaku. Konsultasinya padaku sudah dilakukan jauh sebelum masa magangku dimulai. Apa aku harus merasa beruntung memiliki klien pertama yang tak pernah komplain? Ya, kurasa aku bersyukur tentang itu.
Sepertinya aku harus bersyukur juga pada pria tua berkumis di alun-alun beberapa tahun yang lalu, karena tanpa pria tersebut, Lei tak akan pernah menjadi klienku dan aku tak akan pernah mengenal sulap.
Memoriku masih merekam jelas kejadian beberapa tahun yang lalu. Cuaca hari itu terasa aneh. Cerah, tapi tak terik. Mendung, tapi tak ada awan hujan. Tapi, panasnya cukup untuk membuatku dan Lei memilih duduk di bawah pohon di alun-alun. Mataku memilih terfokus pada orang yang berdiri tak jauh dari tempat kami duduk.
Seorang lelaki, mungkin umurnya lebih tua dari Ayah. Ah, hanya tebakan saja karena kesan dari kumisnya yang lebih banyak ditumbuhi rambut putih ketimbang hitam. Matanya penuh wibawa, terlihat bahwa ia memiliki banyak pengalaman.
Ia mungkin sama dengan bapak-bapak pada umumnya. Namun, pria tersebut meminta uang dengan nilai paling besar pada salah satu pasangan kekasih yang melewatinya.
Dia mengemis, atau mungkin malah menipu, otakku langsung menyimpulkan begitu. Akan tetapi, kesimpulanku segera dipatahkan oleh apa yang dilihat mata kepalaku sendiri. Pria itu menjadikan uang tersebut dua lembar. Kedua lembar uang di tangannya diberikan pada pasangan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...