Prolog

926 63 1
                                    

Ndhuk, Budhe Pinah arep nduwe gawe. Awakmu mulih, ya. Ewang-ewang lagan.

Surat dari desa sudah dia terima sekitar satu jam yang lalu. Dibaca berkali-kali pun, isinya tetap sama.

Ibu menginginkan dirinya untuk pulang.

Entah siapa yang dimintai tolong untuk menulis surat tersebut. Dilihat dari kerapiannya, ibu pasti meminta salah satu anak tetangga yang lewat di depan rumah, memanggilnya, lalu mengiming-imingi jajanan pasar sebagai upah.

Menatap langit di siang terik yang terlihat sangat cerah, dia menghela napas. Bukannya tak ingin pulang. Ada alasan kenapa dia tidak berniat kembali ke desa selama dua tahun ini.

Ada yang sesak di dalam dadanya.

***

Kepala Gendhis seakan ingin meledak kala dia tak menemukan benda itu di mana pun. Barang-barang di ruangan sudah pindah posisi, bahkan sebagian terbalik tak berdaya. Kamar yang sejak awal tidak pernah rapi kini makin terlihat seperti kapal pecah.

"Ndhuk, kenapa isi kamarmu berantakan sekali?" Dari balik pintu, Budhe Sri mengintip Gendhis yang sedang membolak-balikkan kasur kapuknya.

"Pitaku hilang Budhe," dengan wajah panik dan cemas, Gendhis mengadu pada Budhenya. Mata gadis itu berkaca-kaca karena tak kunjung menemukan benda kesayangannya sejak pagi tadi.

"Oalah, pita apa, Ndhuk? Sudah kamu tanya ke Salma?" Membuka pintu dengan hati-hati, Budhe Sri lantas masuk ke ruang kamar Gendhis. Matanya menjelajah ke setiap sudut ruangan, barangkali menemukan benda yang Gendhis maksud.

"Sudah, katanya Salma ndak pinjam," balas Gendhis sambil menyeka air mata yang menetes.

Meski sudah berusia tujuh belas tahun, tapi Gendhis masih menampakkan sisi manjanya. Padahal sudah dua tahun bekerja, tapi sikapnya dengan Budhe Sri sudah seperti pada ibu sendiri.

"Memang, pitanya warna apa, tho?"

"Hitam, Budhe." Gendhis kembali membolak-balikkan benda-benda di dalam ruangan tanpa semangat. Kalau pita itu hilang, dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

"Eeehhhh, tunggu-tunggu!"

Gendhis menengok ke arah Budhe Sri dengan tatapan penasaran. "Kenapa, Budhe?"

"Sek-sek, coba kamu hadap ke kanan."

Dengan raut wajah bingung, Gendhis tetap menuruti perkataan Budhenya. Tak lama, dia merasakan sesuatu diambil dari rambutnya.

"Ini bukan?"

Wajah Gendhis yang semula lesu seketika cerah berseri-seri kala melihat benda yang sedari tadi dia cari ada di tangan Budhe Sri.

"Aaaaaaaaa, Budhe hebat!" Dengan raut penuh suka cita, gadis itu memeluk wanita tambun di hadapannya begitu erat. "Terima kasih, Budhe."

"Pantas saja tidak ketemu. Wong dari tadi kamu pakai, kok." Wanita itu menepuk dahinya sambil tertawa lebar.

Gendhis yang sadar akan kebodohannya hanya tersenyum malu-malu.

"Ya sudah, budhe keluar dulu, ya. Jangan lupa kamarmu dibereskan lagi, lho."

"Tunggu sebentar, Budhe. Em ... anu, minggu depan Gendhis izin pulang, ya."

"Kok tiba-tiba?"

"Iya, Budhe Pinah mau ngunduh mantu. Kalau acara sudah selesai, Gendhis janji akan kembali lagi ke sini."

(Ngunduh mantu: menikahkan anaknya)

"Oh, ya sudah. Ndak apa-apa. Lagi pula, kamu belum pernah pulang kampung, kan?" Budhe Sri lalu merogoh sesuatu dari saku dasternya, menarik tangan Gendhis, lalu menyelipkan selembar uang di tangannya. "Ini dari budhe. Kanggo sangu mulih, ya."

(Kanggo sangu mulih: buat bekal pulang)

"Uhm, ndak usah repot-repot, Budhe. Masih minggu depan, lho."

"Sssstt, rezeki ojo ditolak."

Gendhis tersenyum senang menatap uang berwarna hijau dan pita hitam kesayangan miliknya. "Sekali lagi terima kasih, Budhe."

Wanita tambun itu mengangguk, menepuk bahu Gendhis pelan lalu melangkahkan kakinya keluar kamar.

Menatap ruangan yang kini tak lagi berbentuk, Gendhis menghela napas lelah. Ugh, tiba-tiba rasa malasnya meningkat.

***

Pagi tadi, ibu mengajaknya untuk pergi ke rumah Budhe Pinah. Bantu-bantu lagan, katanya. Sebenarnya, Gendhis malas ke rumah Budhe Pinah. Apalagi ke sana dalam rangka membantu lagan.

Lembu punya susu, sapi punya nama. Yang ribet satu desa, Budhe Pinah yang mendapat keuntungan.

Cih!

Mau bagaimana lagi, di mana-mana lagan, kan, memang seperti itu. Gotong royong antar tetangga tanpa pamrih.

Tadinya Gendhis ingin menolak, tapi dia tidak enak hati dengan ibunya. Jadilah dia tetap pergi ke rumah budhenya.

Gadis itu lupa kalau dia ikut lagan berarti dia juga akan bertemu hampir orang sekampung. Rumah Budhe Pinah sangat ramai. Ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan anak-anak kecil berkumpul di sini. Ikhlas dan Amin yang sekarang sudah lancar berlarian juga ikut meramaikan suasana. Jadi tidak heran kalau Ragil juga ada di sana.

Sempat membeku beberapa detik, akhirnya gadis itu melanjutkan langkahnya membawa nampan berisi minuman hangat.

Keberadaannya terasa serba salah kala ada Ragil di dekatnya. Gadis itu ingin bersikap biasa saja, tapi mau mengabaikan dengan cara apa pun, mata Gendhis tidak bisa berbohong. Dia melirik ke arah Ragil yang kini tampak jauh lebih dewasa.

Gadis itu tidak tau harus berbuat apa selain berdiri mematung. Menanyakan kabar juga terdengar salah. Ragil terlihat baik-baik saja. Untuk apa ditanya lagi? Saat mata keduanya tak sengaja saling tatap, hawa canggung yang tadinya tipis sekarang makin pekat. Kaki Gendhis sudah bergerak-gerak resah. Ingin sekali cepat pergi dari sini.


PseuCom
fifty_shadesof_black

GendhisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang