Bab 2. Menconteng Arang di Muka

523 56 3
                                    

Tiga hari dilanda hujan dan awan mendung, sore ini bagaikan angin segar bagi ibu-ibu yang ingin memajang pakaiannya pada tali jemuran. Matahari bersinar hangat, semilir angin menerpa lembut. Suara burung perkutut bersahut-sahutan dengan sapu lidi yang sedang digunakan untuk menyapu halaman.

Di depan rumah dengan dinding anyaman bambu bercat putih, Gendhis menatap dua anak yang sedang bermain di hadapannya. Anak paling besar bernama Ikhlas sedangkan sang adik bernama Amin. 

Kedua balita itu asyik mengeruk tanah dan membentuknya menjadi gunung. Kaus singlet dan celana pendek yang mereka kenakan sudah kotor penuh debu. Namun, ibunya membiarkan saja asal keduanya tidak rewel.

Melirik ibu dari kedua anak di hadapannya, Gendhis hanya bisa menyipitkan mata dan menipiskan bibir.

"Laksmi, apa kamu tidak repot punya anak kecil-kecil seperti ini?" Gendhis mengarahkan dagunya ke tempat Ikhlas dan Amin bermain tanah. Usia mereka selisih empat tahun. Gendhis umur lima belas sedangkan Laksmi sembilan belas. Tapi dia lebih nyaman memanggil dengan nama. Selain terasa lebih akrab, Laksmi pun tidak mempermasalahkan hal ini.

Laksmi sudah menikah dengan suaminya saat seumuran Gendhis. Memang di desa tempat mereka tinggal, banyak gadis-gadis yang sudah melepas masa lajang di usia belia. Laksmi salah satunya dan Gendhis akan menyusul sebentar lagi.

"Sudah dua, lho. Dan masih mau tambah lagi?" Gendhis berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir.

Laksmi yang melihat raut keheranan Gendhis hanya tersenyum tipis, mengelus perutnya yang juga sedang berisi. "Ya tidak, lah. Kata orang tua dulu, banyak anak banyak rezeki." 

Gendhis yang melihat senyum cerah di wajah temannya hanya bisa diam, melirik dengan ekor mata sambil menampakkan wajah tidak setuju. Gadis itu tidak mengatakan apa pun karena jika sampai dia bilang sesuatu kepada temannya, sama saja seperti Gendhis menconteng arang di muka Laksmi.

Bukannya dia tidak ikut berbahagia dengan kehamilan temannya yang ketiga itu. Dia senang, kok. Hanya saja, menurut gadis itu, semakin banyak anak yang dilahirkan, justru semakin banyak pula beban yang harus dia tanggung.

"Setelah ini kita jalan-jalan, yuk! Aku bosan duduk terus dari siang sampai sore." Gadis itu mencoba mengalihkan topik, malas kalau harus membahas cerita orang di sekitarnya yang suka sekali beranak-pinak.

"Jalan-jalan? Ke mana?"

"Keliling kampung juga boleh. Atau ke sungai main air." Dia menarik-turunkan alisnya, berharap Laksmi akan setuju dengan usulan tersebut.

"Ndak mau, ah. Malas."

Walaupun sudah bisa diprediksi, bahu Gendhis seketika terkulai lesu mendengar jawaban Laksmi.

"Kenapa? Tenang saja, meskipun kadang mereka berisik, Ikhlas sama Amin boleh diajak, kok." Sekali lagi, Gendhis membujuk temannya.

"Ck, repot. Mending di rumah saja."

Gendhis cemberut, mengalihkan wajahnya dari hadapan Laksmi sambil melipat tangan di atas perut. "Ck, kamu sudah ndak asik lagi sekarang. Setiap kuajak main, pastiiiii saja menolak."

"Aku sama kamu kan beda." Laksmi menghela napas kala Gendhis memulai aksi merajuknya. "Kamu masih bebas main ke mana saja. Lah, aku? Sekarang sudah banyak tanggungan. Tidak bisa seperti dulu lagi."

Gendhis hanya mendengarkan ucapan temannya tanpa berniat membalas. Mau dipaksa bagaimana juga, sepertinya Laksmi tetap akan teguh dengan pendiriannya. Bagi Laksmi sekarang, keluarga yang nomor satu sedangkan teman nomor seribu.

Tidak penting.

Dalam bayangannya, menikah dengan Ragil akan membuatnya selalu bahagia. Melakukan hal-hal menyenangkan bersama-sama, saling melengkapi satu sama lain, tapi kalau harus repot seperti Laksmi, dia belum siap.

Sebenarnya Gendhis benci mengakui ini, tapi Laksmi ibarat cerminan dirinya di masa depan nanti.

***

Karena Laksmi enggan diajak jalan-jalan, jadi Gendhis memutuskan pergi sendiri.  Kakinya melangkah tak tentu arah. Tahu-tahu saja dia sudah berada di pinggir sawah. Gendhis lalu duduk di sembarang tempat beralaskan tanah.

Gadis itu selalu suka suasana di tempat seperti ini. Matahari yang masih cerah tapi tidak terlalu menyengat, semilir angin yang menggerakkan tanaman padi, dan suara kodok yang membuatnya tidak merasa sepi.

Tapi yang paling penting, dan paling berkesan, tempat ini selalu mengingatkannya pada Ragil.

"Kemarin aku beli ini." Ragil yang saat itu baru saja pulang dari kerjanya langsung mengajak Gendhis pergi. Tangan laki-laki itu menggenggam tangan Gendhis erat, sedangkan tangan yang satunya lagi merogoh saku, lalu mengeluarkan benda kecil berwarna hitam dan mengulurkannya pada gadis itu.

Menatap benda di tangan Ragil, Gendhis tersenyum dengan mata berbinar. Memang hanya pita. Harganya pun mungkin tak seberapa. Tapi Gendhis senang sekali. Dia merasa Ragil sangat memperhatikannya.

"Lihat! Ada burung bangau putih di sana!" seru Ragil sambil menunjuk arah matahari terbenam. Saat Gendhis menoleh, pipinya telah dikecup oleh Ragil.,

GendhisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang