Bab 24. Merebus Tak Empuk

236 30 4
                                    

Setelah menunggu berminggu-minggu, maka berangkatlah Gendhis dan ibunya ke Jogjakarta menggunakan kereta. Mereka berdua menumpang dua hari satu malam di rumah salah satu kenalan Budhe Pinah. Memang kalau soal koneksi, Budhe Pinah patut diacungi jempol. 

Gendhis dan ibunya sempat ingin menolak bantuan Budhe Pinah, tapi budhenya itu seperti pepatah merebus tak empuk. Teguh sekali pendiriannya untuk membantu mempermudah jalannya ruwatan. Maka setelah dipertimbangkan segala kemungkinannya, ibu menerima bantuan dari Budhe Pinah agar ruwatan Gendhis berjalan dengan lancar. 

Di sinilah Gendhis berada sekarang, kota Jogjakarta. 

Prosesi ruwatan masal akan diadakan sebentar lagi. Sekarang sudah pukul enam, ramai sekali orang berdatangan. Dari mulai anak kecil hingga orang dewasa, dari laki-laki hingga perempuan. 

Ruangan pendopo yang Gendhis tempati begitu luas dengan pernak pernik pendukung. Di depan sana, sudah tertata tiga puluh enam sesaji seperti benang lawe, kendi berisi air penuh, dua buah telur, tujuh macam kain batik, segenggam daun lontar, daun sirih yang diikat dengan benang putih, minyak wangi, air berisi kembang setaman, dan lain-lain. Di depan juga sudah ada pewayangan yang ditata dengan rapi.

"Pssst, kamu datang ke sini karena apa?" Salah seorang perempuan yang terlihat tak jauh dari usia Gendhis tersenyum sopan, bertanya dengan nada ramah. Gadis itu mengenakan baju putih-putih. Sama seperti yang Gendhis kenakan. Sebetulnya, semua orang yang duduk di ruangan ini mengenakan baju seragam. Dibuatkan khusus untuk mereka yang akan diruwat.

Gendhis tersenyum sopan, lalu berucap, "Buang sial. Kalau kamu?"

"Julung wangi, lahir saat matahari terbit. Kata bapak, aku harus diruwat agar tidak dijadikan mangsa oleh Bathara Kala." Gadis itu tersenyum manis hingga kedua lesung pipit di pipinya terbentuk.

Gendhis mengangguk-angguk. Matanya menyapu sekeliling. Dicoleknya lengan perempuan tambun yang duduk tak jauh dari perempuan berlesung pipit. "Kalau kamu diruwat gara-gara apa?"

"Dulu waktu lahir, leherku berkalung usus."

Gendhis mengangguk-angguk paham sebagai jawaban. Untuk membunuh waktu sekaligus mengusir rasa bosan, jadilah saat itu dia menanyakan penyebab orang-orang di pendopo ingin diruwat. Beberapa alasan yang mereka katakan sedikit tidak masuk akal di otak Gendhis. Pasalnya, beberapa orang ingin diruwat hanya karena melakukan kesalahan-kesalahan yang menurut Gendhis terdengar sepele sekali. Seperti mematahkan cobek, membuang sisa nasi di piring, memanjat pohon di siang bolong, membakar rambut, membuang sampah di jendela, hingga yang terbiasa makan sambil tiduran. 

Gendhis jadi merasa tidak spesial lagi. Dia kira ruwatan hanya untuk menyucikan orang-orang yang memiliki dosa besar atau kesialan bertubi-tubi seperti dirinya. 

***

Setelah menunggu sekian menit, upacara pun dimulai. Gendhis yang memakai pakaian serba putih  dimandikan dengan air berisi kembang setaman oleh seorang wanita tua.

"Nanti bunga yang menempel di badan kamu dikumpulkan, ya, Ndhuk. Jangan dibuang sembarangan, lho." Wanita tua yang tadi menyiram air kepadanya berkata lembut.

"Inggih, Budhe." 

Setelah siraman dan dipakaikan baju putih lagi, Gendhis bersama wanita tua tadi berjalan menuju ibunya untuk prosesi sungkeman, lalu dilanjutkan dengan selamatan disertai doa khusus oleh Ki Dalang. Setelah itu, iring-iringan peserta ruwatan kembali lagi ke pendopo.

"Eh, kamu tahu ndak, setelah ini akan ada pagelaran wayang Murwakala, loh! Bagiku, pagelaran ini adalah upacara puncak untuk menyucikan jiwa kita agar tidak mendapat kesengsaraan dan nasib buruk lagi." Gadis manis dengan lesung pipit di kedua pipinya itu bernama Sulastri. Dia bercerita pada Gendhis dengan semangat menggebu-gebu, seolah sudah menantikan hal ini sejak lama. 

"Kamu tahu dari mana?"

"Ibuku sering cerita. Aku juga tertarik sama cerita pewayangan seperti ini. Seru!"

Gendhis hanya mengangguk-angguk. Sayang sekali dia dan Sulastri tidak memiliki ketertarikan yang sama. Padahal kalau mereka sepemikiran, pasti dia dan Sulastri akan menjadi teman akrab.

GendhisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang