Gendhis sedang duduk sambil mengetuk-ngetuk piring yang baru saja dia pakai untuk makan. Hari ini dia sendirian di rumah. Tadi pagi saat ibu memintanya untuk pergi ke rumah Budhe Pinah, Gendhis pura-pura sakit kepala. Herannya, ibu tetap percaya. Wanita itu pergi sendiri ke rumah Budhe Pinah tanpa memaksa Gendhis untuk ikut. Sebab buah dikenal pohonnya. Karena sang ibu yang terlalu mudah dibohongi, Gendhis jadi terbiasa beralasan kalau dia tak mau melakukan suatu hal.
Saat sedang melamun, pintu tiba-tiba terbuka hingga membuat gadis itu melotot terkejut. Di depan pintu, terlihat Laksmi mengenakan baju dan rok serba putih. Kalau saja tidak ada Amin dan Ikhlas yang menampakkan wajah dari sisi pintu sambil nyengir, Gendhis akan mengira dia baru saja kedatangan kuntilanak pagi-pagi buta.
Gendhis cemberut, menatap Laksmi yang santai saja masuk rumah kemudian duduk di sampingnya. "Tolong, ya, kalau masuk, pintunya diketuk dulu. Buat kaget saja. Kupikir tadi aku kedatangan arwah nenek moyang."
Laksmi santai meletakkan anak ketiganya yang baru dia gendong ke kursi. Dia lalu melirik Gendhis seraya mencibir, "Yang baru saja kamu ucapkan itu harusnya ditujukan untuk diri kamu sendiri. Kamu, kan, lebih sering buka pintu sembarangan tanpa diketuk dulu."
Gendhis ingin mengelak, tapi dia tak punya alasan karena memang seperti itu adanya. Akhirnya dia hanya tertawa lebar. Tak lupa tangannya menepuk-nepuk bahu Laksmi pelan. "Ya ... ya .... Maaf, deh."
Laksmi hanya mengangkat bahu. Meski hari ini Gendhis minta maaf, pasti besoknya dia akan melakukan hal itu lagi. Kebiasaan buruk memang sulit diubah.
"Kenapa tiba-tiba ke sini?" Gendhis bertanya. Tumben sekali temannya ini mampir ke rumah. Biasanya juga Gendhis yang pergi ke rumah Laksmi. Kalau tidak penting-penting amat, Laksmi jarang mampir.
"Kamu disuruh pergi ke rumah Budhe Pinah lagi. Hari ini, kan, penutupan acara lagan. Budhe Jumini memintaku mampir untuk mengajak kamu pergi ke rumah Budhe Pinah."
Gendhis menghela napas berlebihan. "Tolong, lah. Aku sengaja tidak berangkat biar bisa santai di rumah. Malas sekali kalau harus ikut lagan lagi." Gadis itu mengeluh. Memang, ya, dalam hidup ini, harapan dan kenyataan lebih sering berbanding terbalik.
Laksmi hanya mengangguk. Tidak heran lagi dengan alasan yang Gendhis ucapkan. "Tadi Budhe Jumini bilang begini kalau kamu menolak," Laksmi berdehem, lalu meniru cara Jumini berkata. "'Pring Wuluh, urip iku tuwuh aja mung embuh ethok-ethok ora weruh. Kalau ada orang butuh bantuan, segeralah ditolong. Jangan pura-pura tidak tahu'." Laksmi tersenyum tipis menatap Gendhis yang sudah cemberut mendengar perkataanya barusan. "Lagi pula, ini hari terakhir, lho. Besok-besok sudah ndak ada acara lagi. Kamu bisa bersantai sepuasnya."
"Justru karena itu aku jadi malas. Hari terakhir adalah hari paling berat. Mending waktunya dipakai untuk tidur." Gendhis bersidekap.
"Ish! Ayolah, tinggal penutupan saja. Paling kamu cuma perlu bersabar barang satu atau dua jam untuk bantu-bantu di rumah Budhe Pinah. Memangnya kamu ndak kasihan sama aku, ya? Harus jalan bolak-balik dari rumah Budhe Pinah ke rumahmu pagi-pagi begini, sambil bawa tiga anak kecil. Sampai di sini kamu malah ndak mau ikut. Sia-sia pengorbananku."
"Haemm, iya-iya." Gendhis melirik sinis. Kalau Laksmi sudah mulai berlebihan seperti ini, dia hanya perlu mengangguk menyetujui. Kalau tidak, siap-siap saja telinganya mendengar serentetan alasan agar Gendhis bisa pergi ke rumah Budhe Pinah. Berhubung Gendhis masih sayang gendang telinganya, jadi dia mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
RomanceSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.