Bab 1. Terpasang Jerat Halus

605 62 4
                                    

Dulu saat berumur enam tahun, Gendhis pernah tiga kali jatuh dan membuat ibunya selalu khawatir.

Pertama ketika dia meminta izin untuk pipis di kolam lele milik tetangga sebelah rumah. Pulang-pulang, badannya sudah basah kuyup dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Saat tetangga sebelah rumah menjelaskan kejadian saat Gendhis tercebur ke dalam kolam lele, anak itu hanya nyengir tanpa dosa.

"Tidak apa-apa, kok, Bu. Malah tadi Gendhis melihat lele yang lari menjauh pas Gendhis masuk kolam."

Padahal jantung Jumini sudah berdetak tidak karuan, tetapi anak perempuannya hanya menganggap enteng kejadian tersebut.

Peristiwa kedua, saat Gendhis dan ibunya sedang mencuci di mbelik---mata air berbentuk ceruk tempat orang-orang desa mencuci baju dan mandi. Waktu ditinggal untuk mengambil sabun yang lupa dibawa, Jumini sudah mendapati anaknya yang tercebur ke mbelik sambil berusaha naik ke permukaan.

Jumini yang panik langsung membantu anaknya. "Astaga, kok bisa-bisanya jatuh, tho, Ndhuk?" 

"Tadi aku main air, terus gayungnya tenggelam. Pas mau kuambil, malah aku yang jatuh."

Jumini hanya menghela napas kasar setelah mendengar cerita putrinya. Ingin rasanya memarahi Gendhis, tapi melihat mata bulat hitam yang menatapnya polos, Jumini hanya bisa mengelus dada.

Kejadian ketiga, saat Gendhis disuruh ibunya membeli gula pasir di warung bersamaan dengan adzan zuhur berkumandang. Tak lama setelah Gendhis keluar rumah, Jumini mendengar suara tangis anak kecil. Saat ditengok, ternyata Gendhis yang jatuh dari jembatan. Padahal jembatan itu cukup lebar untuk dilalui sepeda. Entah bagaimana bisa Gendhis yang hanya jalan kaki sampai terjatuh. Untungnya, anak itu terjatuh di tanah, bukan di sungai yang penuh batu.

Setelah mendapat ketiga musibah tersebut, Gendhis langsung meriang tiga hari tiga malam. Pinah memintanya untuk segera meruat Gendhis, tapi Jumini lebih percaya dengan mantri yang mengatakan kalau anaknya baik-baik saja. Hanya demam biasa. Sejak kejadian itu, Pinah semakin sering berkunjung ke rumah keluarga Jumini. Kata wanita itu, dia hanya ingin memastikan keluarga kakaknya baik-baik saja.

***

"Mbak Jum, apa Mbak tidak berniat meruwat Gendhis? Setelah bapaknya meninggal, maka bisa dipastikan kalau dia anak tunggal di keluarga, Mbak. Anak sukerta." Pinah mengatakan itu bukan tanpa alasan. Segala hal yang terjadi di muka bumi pasti ada sebabnya. Saran untuk meruat Gendhis pun sebelumnya sudah dikatakan Pinah. Tapi sama seperti sebelumnya, sang kakak selalu menganggap enteng.

Dalam masyarakat Jawa yang masih kental akan tradisi, anak sukerta memiliki hawa hitam yang membuatnya selalu dilingkupi nasib buruk dan kesukaran. Agar hawa hitam hilang dari diri sang anak, maka orang tua bisa melakukan proses ruwatan untuk membuang segala kesialan. Memang tidak ada waktu khusus untuk meruwat, tapi bagi yang percaya, maka lebih cepat lebih baik.

Jumini selaku ibu Gendhis hanya menanggapi perkataan adiknya sebagai angin lalu. "Ndak usah, lah. Semua anak sama saja. Kalau mendapat sial, berarti memang takdirnya seperti itu. Ndak perlu acara ruwat-ruwat segala."

Pinah bertanya-tanya dalam hati. Dibesarkan oleh orang tua yang kental dengan ajaran kejawen, dia heran kenapa kakaknya bisa santai kala anak yang sudah dilahirkan susah payah memiliki watak buruk akibat dari anak sukerta. 

(Ajaran kejawen: etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami dari pemikiran Jawa.)

"Lagi pula, nasib baik dan buruk sudah digariskan Tuhan. Kita tinggal menjalani saja," sambung Jumini lagi sambil mengusap kepala Gendhis yang tidur lelap di sampingnya. 

Pinah menghela napas. Mau diberi tahu seribu kali pun, Jumini tidak pernah mendengarkan saran darinya untuk meruwat Gendhis. "Baiklah. Terserah Mbak saja. Tapi aku tidak akan terpasang jerat halus. Aku berusaha mengawasi Gendhis dari jauh. Bagaimanapun juga, dia keponakanku dan aku masih peduli padanya. Semoga nasib baik selalu melingkupi kalian."

GendhisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang