Bab 9. Lemak Penyelar Daging

285 39 0
                                    

Laksmi menatap Gendhis yang duduk di sampingnya tanpa berkedip. Tadi pagi-pagi sekali, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja Gendhis sudah ada di rumahnya. Setelah dibukakan pintu, dia langsung duduk di kursi panjang. Laksmi tentu saja dibuat terheran-heran. Sudah satu jam ini Gendhis hanya duduk diam. Bahkan teh yang sengaja Laksmi buatkan masih utuh. Belum gadis itu sentuh sama sekali sampai minumannya dingin.

"Tumben kamu ndak banyak bicara." Sambil menggendong anak bungsunya, Laksmi lalu duduk di samping Gendhis yang masih saja melamun. "Kenapa? Sakit gigi, ya?"

"Ndak, kok."

"Sakit kepala?"

"Bukan."

"Sakit perut?"

Laksmi mengangkat alis tinggi-tinggi. Gendhis dan bisu memang tidak cocok disandingkan dalam satu kalimat. Malah biasanya kalau sedang main ke rumah, suara Gendhis beradu volume dengan jeritan Ikhlas hingga membuat telinga Laksmi hampir tuli.

"Ck! Kan sudah aku bilang ndak sakit apa-apa."

"Ooooh, sakit hati, toh." Laksmi mengangguk-angguk paham. Walaupun Gendhis belum bercerita, tapi ibu-ibu di warung sudah lebih dulu berbagi informasi dengannya.

Gendhis lalu menatap Laksmi yang sedang sibuk menyuapi nasi dan telur ceplok untuk anak bungsunya. Melihat itu, tiba-tiba dia merasa lapar. Tadi pagi gadis itu memang belum menyempatkan sarapan. "Tau ndak, aku ke sini mau menenangkan diri. Kalau di rumah terus rasanya sesak."

Laksmi menoleh cepat sambil melipat dahinya dalam-dalam. "Kalau seperti itu, berarti kamu salah tempat. Menenangkan diri harusnya di gunung atau gua. Kamu malah lari ke sini. Ya jelas terganggu sama teriakan Ikhlas dan Amin, lah."

"Setidaknya mereka lebih baik daripada sendirian di rumah. Terasa sepi dan kosong."

Laksmi melongo. Sebenarnya, Gendhis ingin menenangkan diri atau merasa kesepian?

Ah, sudahlah. Orang patah hati memang sering bertingkah aneh. Karena Laksmi juga merasa tidak punya banyak solusi, dia tahu diri. Tidak berminat ikut campur masalah patah hati temannya.

Lama terdiam, Gendhis tiba-tiba saja menoleh sambil tersenyum lebar membuat Laksmi sedikit takut. "Eh, kok aku tiba-tiba kepikiran kerja, ya? Kalau di rumah, aku cuma bisa jadi beban ibu. Aku tidak ingin menjadi lemak penyelar daging. Mending ke kota, kan, ya? Sekalian cari pengalaman."

"Iya. Siapa tahu kamu bisa lupakan yang lalu-lalu."

"Apa aku kerja di luar negeri, ya? Kemarin anak Yu Sarti diterima kerja di Malaysia. Siapa tahu aku bisa nyusul." Mata gadis itu menerawang jauh, membayangkan dirinya yang akan pergi dari desa ini secepatnya.

"Jauh amat. Kalau mau kerja, mending di rumah budheku saja. Sudah dari dulu Budhe Sri ingin menambah karyawan. Tapi cuma wacana saja. Lagi pula, kamu juga sering bantu-bantu ibumu memasak, kan? Kalau cuma ngulek bumbu, potong-potong bahan makanan, sama aduk-aduk adonan bisa, lah, ya."

Mata Gendhis seketika berbinar. "Kerja di mana itu?"

"Budhe Sri ada di Semarang. Kalau kamu mau, aku bisa kirim surat ke sana."

Gendhis mengerjap-ngerjapkan mata. "Boleh?"

Laksmi mengangkat bahunya. "Ya ndak tahu. Coba tanya ibumu dulu. Budheku pasti akan setuju, sih. Apalagi kalau aku cerita tentang kamu yang patah hati, ingin pergi dari desa biar bisa melupakan yang sudah terjadi."

"Aku pergi ke kota buat cari kerja, ya. Bukan mencari belas kasihan," ucap Gendhis sengit.

"Bercandaaaa. Tenang saja, aku yakin budhe akan setuju. Yang harus kamu tanya, tuh, ibumu. Boleh ndak kalau misalnya kamu pergi ke kota."

GendhisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang