Rumah kembali sepi. Sanak saudara yang datang berkumpul sekarang sudah kembali ke kediamannya masing-masing. Tersisa Budhe Pinah yang menginap satu malam untuk menemani mereka.
Gendhis dan budhenya sekarang sedang duduk berdua di ruang tamu. Tadi Budhe Pinah memintanya untuk duduk bersama. Kata wanita itu, dia ingin mengatakan sesuatu yang penting kepada Gendhis.
Keduanya saling adu tatap. Gendhis sedikit tersentuh saat Budhe Pinah memilih untuk sejenak tinggal di rumahnya. Sedikit saja, lho, ya. Sisanya sebal karena dari sekian banyak sanak saudara yang datang, kenapa hanya Budhe Pinah yang tersisa di sini?
Masih saling menatap dalam keheningan, akhirnya Budhe Pinah membuka mulutnya untuk berbicara. "Yang budhe bilang benar, 'kan? Jangan berhenti menyapu di depan pintu. Apalagi sampai kotorannya tidak diserok. Lihat, Mas Ragilmu ndak jadi melamar. Sekarang, apa yang kamu rasakan? Senang? Puas?"
Gendhis yang merasa disudutkan oleh seseorang, apalagi ini Budhe Pinah yang hobi sekali membuat dirinya darah tinggi hanya mampu menampakkan wajah masam. "Itu hanya kebetulan, Budhe." Gendhis bersedekap seraya mengerucutkan bibirnya.
"Tidak ada yang kebetulan. Apa yang kamu tanam itulah yang kamu tuai." Lagi-lagi, Budhe Pinah memulai sesi ceramahnya.
Gendhis mendengus keras-keras. Gadis itu mengalihkan wajahnya ke arah pintu, enggan menatap wajah budhenya. "Ya sudah. Lagi pula, yang gagal dilamar aku. Bukan Budhe. Harusnya aku yang marah sekarang."
***
Malam telah menjelang. Petromaks di dalam rumah Gendhis sudah dinyalakan sejak azan magrib berkumandang. Suara jangkrik dan orong-orong terdengar seperti nyanyian alam menenangkan. Malam semakin larut dan Gendhis sudah merebahkan diri di kamarnya, bersiap untuk tidur. Sayangnya, berkali-kali mencoba memejamkan mata dan membolak-balikkan badan untuk mencari posisi ternyaman, rasa kantuknya tak kunjung hadir.
Sayup-sayup terdengar suara ibunya dan Budhe Pinah yang beberapa kali menyebut-nyebut nama Gendhis. Karena penasaran, gadis itu menajamkan pendengarannya untuk mencuri dengar obrolan kedua orang dewasa di luar.
"Mbak, sepertinya Gendhis memang harus diruwat. Mbak Jumini melihat sendiri, kan, kesialan terus saja datang menghampirinya?"
Jumini hanya terdiam. Sebenarnya, dia tidak terlalu mempercayai pamali dan hal-hal sejenisnya. Tapi kalau dia mengelak, Pinah pasti akan terus memojokkannya. Banyak bukti yang bisa Pinah jabarkan satu-persatu.
"Apa perlu aku menyiapkan semuanya sendiri untuk meruwat anak itu?"
Jumini menggeleng pelan. "Ndak usah berlebihan."
"Ini demi kebaikan bersama, lho, Mbak."
Di balik sekat anyaman bambu, Gendhis yang tadinya hanya menguping lalu melangkah ke ruang tamu. Dia tidak suka kalau Budhe Pinah terus saja mendesak ibu untuk mengikuti saran wanita itu.
"Sudah, Budhe, Ibu. Gendhis tidak kenapa-kenapa, kok. Kalau tadi Gendhis menangis, wajar, tho? Siapa yang tidak bersedih kalau tiba-tiba lamarannya batal? Ndak perlu dipikirkan lagi. Ada nyawa, nyawa ikan. Meski rasanya seperti hampir mati, tapi Gendhis masih hidup, kok. Sekarang, Gendhis mau tidur. Jadi Gendhis mohon jangan berdebat lagi." Selesai mengatakan itu, Gendhis kembali masuk ke kamar, merebahkan diri, lalu menyelubungi dirinya dengan selimut tipis. Memaksa matanya untuk terpejam.
Kalau dipikir-pikir, Budhe Pinah memang saudara yang sering sekali ikut campur urusan orang lain. Padahal dia juga punya keluarga di rumahnya. Tapi meski malam sudah datang kembali, Budhe Pindah tak kunjung pulang ke rumahnya.
Gendhis curiga, jangan-jangan Budhe Pinah yang merencanakan semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
RomanceSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.