Bab 15. Indah Kabar dari Rupa

250 35 0
                                    

Malam ini, banyak keluarga yang berkumpul di rumah Budhe Pinah. Gendhis dan saudara-saudara lain sedang duduk santai di ruang tamu. Sebenarnya gadis itu tidak terlalu suka acara berkumpul seperti ini. Dari kecil terbiasa berlaku semaunya, Gendhis sering sekali mendapat wejangan dari tetangga atau saudaranya. Duduk bersama dengan keluarga seperti ini semakin memperbesar kemungkinan itu.

"Ndhuk, kamu kapan nyusul? Ini Siska sudah mau jadi istri orang, lho. Kamu mbok ya cepat-cepat cari calon."

Nah, kan. Salah satu budhenya sudah angkat bicara mengomentari kehidupan Gendhis. Memang bukan wejangan, sih. Tapi tetap saja terdengar menyebalkan di telinga gadis itu.

"Ndak dulu lah, Budhe. Gendhis masih mau menikmati masa muda." Dia tersenyum tipis. Dalam hati, Gendhis sudah dongkol sekali. Memang budhenya kira mencari laki-laki yang cocok dengannya segampang membalikkan adonan donat yang sedang digoreng di dalam wajan penuh minyak panas? Tentu saja tidak.

"Kalau bisa, jangan lama-lama. Ndak malu, apa? Mosok dilompati sama sepupu sendiri."

Gendhis hanya nyengir tanpa dosa. Mencomot pisang goreng yang ada di hadapan lalu memakannya. "Buat apa malu. Wong aku memang belum dapat yang cocok, kok."

"Saran budhe, kamu segera menyusul, Ndhuk. Kalau terlalu lama menunggu, nanti jadi perawan tua, lho."

Gadis itu hanya tersenyum tipis, malas menanggapi perkataan budhenya.  Biasanya kalau sudah mendengar ibu-ibu bergunjing, Gendhis hanya bisa menonton tanpa minat. Baginya, informasi yang dibagikan dari mulut ke mulut indah kabar dari rupa.

Diam-diam Gendhis merapikan gelas-gelas kosong yang sudah selesai diminum, meletakkan dalam nampan, kemudian mengangkatnya.

"Gendhis ke belakang dulu, ya. Mau mengembalikan gelas kotor." Para budhe yang duduk di sana hanya mengangguk, tidak berniat untuk menahan Gendhis pergi. Gendhis tersenyum senang kala aksi kaburnya berjalan mulus.

***

Rumah Budhe Pinah ramai meskipun malam semakin larut. Lampu petromaks menyala di setiap sudut ruangan menjadikan tempat ini jauh lebih terang dari biasanya. Bapak-bapak berlalu lalang untuk mendirikan tratak, menata meja, kursi, dan menghias halaman, sedangkan ibu-ibu duduk santai. Sesekali mereka akan pergi ke dapur untuk membuatkan kopi hangat dan camilan untuk orang-orang yang sedang bekerja.

Setelah memutari rumah Budhe Pinah untuk mencari tempat bersantai, Gendhis melangkahkan kaki ke teras. Niatnya sih, mau duduk di lincak depan sambil menonton bapak-bapak mendekorasi. Namun, setelah sampai, dia justru mendapati Junaidi duduk di sana dengan kopi hitam dalam gelas belimbing.

"Lah, kok kamu lagi, sih?" Gadis itu mendengkus seraya berkacak pinggang.

Junaidi yang sedang bersantai hanya menoleh tak peduli, lalu menyeruput kopinya dengan khidmat kala mendengar suara Gendhis. "Aku dari tadi sudah di sini, lho. Kamu yang baru datang malah petentang-petenteng sambil marah-marah. Kenapa? Mau mengusir?"

(Petentang-petenteng : berkacak pinggang)

"Ck, mending aku yang pergi." Baru dua langkah berjalan, tangannya sudah dicekal.

"Eeehhh, karena sudah terlanjur ke sini, mending duduk di sini saja. Temani aku." Junaidi menampakkan senyum cerahnya seraya menarik-turunkan alis.

"Malas. Nanti jadi bahan gunjingan ibu-ibu. Terus mereka bakal bilang, 'Eh, itu anaknya Bu Jumini malam-malam duduk berdua sama Junaidi. Ckckck, memang anak muda tidak tahu unggah-ungguh'."

"Bukannya kamu sudah kebal jadi bahan gunjingan, ya?Sudah, ndak usah dipikirkan. Kalau ibu-ibu itu bergunjing tentang kita, tinggal aminkan saja, kok."

Gendhis mencibir, tapi dia tetap duduk juga.

GendhisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang