Bab 22. Seperti Mayat Ditegakkan

239 31 0
                                    

"Ndhuk, budhe mau minta tolong sama kamu." Budhe Pinah melambaikan tangannya pada Gendhis yang duduk diam di kursi kecil sambil melamun. "Tolong kembalikan gelas ini ke kelurahan, ya."

Gadis itu beranjak, lalu mendekati Budhe Pinah yang menepuk-nepuk tiga kotak biru di atas meja. Wanita itu terlihat biasa saja saat berbicara kepada Gendhis. Dia pikir, setelah kejadian kemarin, Budhe Pinah akan melayangkan tatapan sebal tiap kali bertemu pandang dengannya. Tapi karena hari ini wanita itu terlihat bersahabat, Gendhis pun tidak ingin mengungkit-ungkit kejadian kemarin.

"Sore-sore begini, Budhe? Ndak bisa besok saja?"

Wanita itu menggeleng. "Justru mumpung sore, jadi Budhe menyuruh kamu untuk mengembalikan gelas. Lagi pula, ndak baik menunda-nunda pekerjaan."

"Terus Gendhis sendirian saja?"

Budhe Pinah celingak-celinguk. Semua orang terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Para pemuda membongkar tenda dan menata kursi, sedangkan para wanita mencuci piring kotor, membungkus makanan untuk dibawa pulang orang-orang yang lagan hari ini. Memang hanya Gendhis saja yang terlihat menganggur.

"Kalau kamu mau minta tolong Laksmi buat menemani, monggo saja." Budhe Pinah menepuk-nepuk bahu Gendhis, kemudian berlalu mengerjakan pekerjaan lain.

Gadis itu cemberut. Laksmi sudah menghilang entah ke mana dan dia tidak bisa meminta bantuan pada temannya itu. Memang kelurahan dan rumah Budhe Pinah tidak terlalu jauh. Paling-paling hanya lima menit jalan kaki, dia sudah sampai. Tapi tetap saja Gendhis malas sekali. Gadis itu menghela napas berat, lalu mulai mengangkat salah satu kotak biru penuh nelangsa seolah-olah beban di tangannya itu berat sekali.

"Hng ... kamu butuh bantuan?"

Baru juga dia mau melangkahkan kaki, sebuah suara menginterupsinya. Gendhis menoleh ke sumber suara. Sejenak, tubuh Gendhis membatu dengan wajah seperti mayat ditegakkan. Tapi cepat-cepat dia mengerjapkan mata lalu tersenyum kikuk. "Ndak usah repot-repot, Mas. Aku bisa sendiri, kok."

"Kamu kelihatan butuh bantuan. Lagi pula, aku ndak repot." Ragil tersenyum tulus.

"Serius, ndak usah repot-repot."

"Aku juga serius menawari bantuan."

Gendhis terdiam sejenak. Ingin menolak lagi, tapi nanti pekerjaannya tidak selesai-selesai. Gendhis menatap laki-laki di hadapannya, lalu mengangguk pelan. "Ya sudah, kalau Mas Ragil mau membantu. Masih ada dua kotak lagi yang harus dibawa."

Ragil tersenyum, lalu mengangkat dua kotak biru tadi. Mereka berjalan bersisian dalam diam.
Gendhis menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya pelan.

Hah ....

Canggung sekali.

Karena saling membisu, Ragil melirik gadis di sampingnya. "Kamu ... apa kabar?" 

"Baik, kok," ucap gadis itu seraya mengangguk.

Gendhis tidak tahu lagi mau mengobrol tentang apa. Jadi dia tetap memilih diam. Terlalu lama melamun, dia sampai tidak sadar kalau sudah sampai di kelurahan. Tanpa banyak berkata, Ragil mengambil alih kotak biru berisi gelas di tangan Gendhis, lalu segera mengajak kembali ke rumah Budhe Pinah setelah urusan mereka selesai.

"Sini, jalannya jangan jauh-jauh, nanti kalau hilang bagaimana?" Ragil mencoba bergurau. Sejak bertemu Gendhis setelah gadis itu pulang dari Semarang, memang terasa sekali kalau gadis itu berusaha menjaga jarak darinya. Ragil paham, tapi menurutnya, meski sudah tidak lagi berhubungan, silaturahmi harus tetap berjalan. Dia ingin Gendhis merasa nyaman berada di dekatnya.

"Aku bukan anak kecil, tau!" Gendhis menggerutu.

Tawa pertama Ragil yang Gendhis dengar hari ini membuatnya sejenak terpaku. Renyah sekali seakan tanpa beban. Pikiran Gendhis jadi melayang ke sana kemari. Bagaimana jika dulu dia dan Ragil benar-benar bersama? Pasti Gendhis puas memandangi wajah laki-laki itu setiap saat.

Duh!

Gendhis menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak seharusnya dia berpikir seperti itu.

"Hei? Kok malah berhenti, tho?"

Gadis itu membuka matanya kembali, lalu tersenyum canggung. "Hehehe, anu, tadi ada kupu-kupu lewat. Aku sampai terpesona."

Ragil hanya mengangkat alis, tapi tidak membahas lebih lanjut. Mereka lalu kembali melanjutkan perjalanan. Baru juga beberapa langkah, seseorang sudah menyambut mereka berdua dengan wajah kesal campur marah.

"Aku cari di mana-mana, ternyata kamu malah berduaan sama dia, ya?"

Gendhis berdecak. Ayu lagi, Ayu lagi. Padahal baru dua kali bertemu, tapi Gendhis sudah bosan melihat wajah wanita itu. "Maaf, Mbak. Tapi kalau Mbak Ayu berpikir aku dan Mas Ragil ada apa-apa, itu tidak benar. Tadi kami disuruh Budhe Pinah mengembalikan gelas saja."

"Pasti kamu sengaja dekat-dekat dengan Mas Ragil, kan? Padahal kemarin sudah kuperingatkan." Ayu menatap Gendhis sengit hingga bola matanya seakan-akan ingin keluar.

"Kenapa Mbak Ayu menuduh seperti itu?"

"Jelas-jelas kalian berduaan. Kamu, kan, bisa meminta bantuan orang lain. Atau dikerjakan sendiri apa susahnya, sih? Dasar, wanita penggoda!"

"Sudah, jangan bertengkar di sini." Ragil berusaha melerai, tapi dia tahu kalau usahanya sia-sia belaka. Dua perempuan di depannya sama-sama mempunyai watak keras kepala. "Ayu, ayo kita pulang dan bicarakan hal ini baik-baik." Ragil menarik tangan istrinya tapi tangannya dicampakkan.

Gendhis yang tak terima difitnah begitu saja tak tinggal diam. Dia menyeringai, bersiap membalas perkataan Ayu. "Mbak merasa terancam, ya? Jangan-jangan yang dikatakan orang-orang benar. Mbak Ayu hamil duluan sebelum menikah. Makanya Mas Ragil membatalkan lamaran kami. Mbak Ayu juga selalu merasa terancam setiap aku dekat dengan Mas Ragil gara-gara Mbak Ayu tidak percaya diri, 'kan? Padahal Mbak Ayu tahu sendiri kalau kami ini---"

Plak!

"---bukan apa-apa."

Sebuah tamparan mendarat di pipi Gendhis. Saat dia menoleh, Ayu menatap puas atas apa yang baru saja dilakukan, sedangkan Ragil terkejut luar biasa.

"Gendhis, atas nama Ayu, aku mint---"

"Ndak apa-apa." Potong gadis itu cepat. Dilihatnya Ragil yang memegang tangan Ayu dengan lembut, lalu membujuknya agar segera pulang. Melihatnya, Gendhis terpaku. Ragil memang masih terus menggumamkan kata maaf, tapi dia tidak mendengarkan. Yang sekarang menjadi perhatiannya hanya Ragil dan Ayu yang berjalan semakin menjauh. Meninggalkannya di sana. Sendirian. 

Mata Gendhis berkaca-kaca. Dia tahu kalau dia sudah bukan siapa-siapa. Tapi melihat Ragil dan Ayu secara langsung di depan matanya sendiri, dadanya terasa sesak sekali.

GendhisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang