"Bu, kalau Gendhis izin bekerja boleh, ndak?" Sore tadi, Jumini pulang dari pasar dengan wajah berseri-seri. Dagangannya laris, suasana hatinya juga terlihat baik. Jadi, Gendhis memberanikan diri untuk bertanya.
"Mau kerja di mana?" Jumini meluruskan kakinya. Gendhis yang memang sedang ada maunya cepat-cepat mendekat, kemudian memijat kaki sang ibu.
"Semarang," ucap gadis itu lirih.
Jumini menoleh lalu mengerutkan dahinya. "Jauh sekali, Ndhuk. Kamu yakin? Kenapa tiba-tiba sekali kamu pengen kerja? Wong disuruh mencetak adonan donat saja kadang masih malas-malasan."
Mendengar perkataan ibunya yang seolah menyindir, Gendhis hanya tersenyum malu. "Ya ndak apa-apa. Gendhis, kan, pengen punya uang sendiri."
"Mbok kamu cari kerjanya dekat sini saja. Apa ndak kasihan sama ibumu ini? Ditinggal di rumah sendirian."
Gadis itu mengerjapkan matanya. "Mmm ... tapi kemarin Gendhis sudah kirim surat dan katanya diterima. Mosok harus dibatalkan."
Beberapa hari yang lalu, dia dan Laksmi memang langsung menulis surat kepada Budhe Sri di Semarang. Gadis itu bahkan sempat berbohong kepada Laksmi kalau dia sudah dapat izin dari ibu. Kalau tidak begitu, mana mau Laksmi mengantarkannya ke kantor pos terdekat.
Gendhis sama sekali tidak terpikirkan kalau sang ibu juga pasti akan kesepian harus sendiri di rumah.
"Kok kamu ndak bilang-bilang dulu?"
Melihat raut wajah sendu sang ibu, Gendhis hanya bisa menggaruk leher belakang menutupi rasa bersalahnya. Ibu dan anak itu lalu terdiam dengan pikirannya masing-masing.
"Yo wis, kalau kamu maunya begitu. Sering-sering kirim surat, lho."
"Iya."
"Mau berangkat kapan?"
Melirik ibunya, Gendhis lalu berucap pelan, "Rencananya besok pagi."
"BESOK PAGI?!" Jumini terkaget-kaget. Dia tahu kalau Gendhis sudah besar. Tapi melepas anak gadisnya pergi bekerja ke tempat yang jauh rasanya berat sekali. Terbiasa hidup nyaman di rumah yang apa-apa serba disediakan, Jumini tidak bisa tidak kepikiran kalau Gendhis harus dia lepas tanpa pengawasan.
Gendhis tidak menyangka akan reaksi ibunya yang begitu heboh hanya bisa tertawa sungkan. Mau bagaimana lagi? Kalau tiba-tiba saja dia membatalkan kepergiannya ke Semarang, Gendhis pasti merasa tak enak hati kepada Laksmi. Dia tidak ingin hubungannya dan Laksmi berubah menjadi layar menimpa tiang.
Menghela napas panjang, Jumini menepuk-nepuk bahu Gendhis pelan, lalu beranjak dari duduknya. "Ya sudah, sana beres-beres."
"Ibu ndak apa-apa kalau Gendhis tinggal?" tanya gadis itu seraya menatap bahu Jumini yang berjalan menuju dapur.
"Anggap saja ndak apa-apa. Sudah, kamu segera beberes."
***
Kokok ayam jago terdengar bersahut-sahutan. Pagi telah datang. Di dalam kamarnya, Gendhis sudah siap dengan barang-barang. Menjelang keberangkatannya, tiba-tiba dia merasa ragu. Apakah keputusannya untuk pergi memang sudah tepat? Lama sekali gadis itu melamun di dalam kamar, hingga sang ibu masuk dan duduk di sampingnya.
"Ibu tahu, kamu mau pergi bukan karena ingin kerja," ucap Jumini pelan.
"Mau sejauh apa pun kamu kabur, kalau diri sendiri masih merasa ndak terima sama keadaan, kamu tetap akan merasa kecewa terus. Lepaskan apa yang memang harus dilepaskan."
Mata Gendhis seketika berkaca-kaca mendengar perkataan ibunya. Dia memang ingin pergi jauh untuk melupakan hal-hal yang belakangan menimpanya. Gadis itu ingin mencari suasana baru.
"Kalau mau pergi, pergilah. Tapi jangan lupa pulang, ya." Jumini mengecup sekilas puncak kepala anaknya kemudian memeluk Gendhis penuh sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
RomansaSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.