"Ndhuk, kalau menyapu jangan dibiasakan berhenti di depan pintu. Ora ilok," Budhe Pinah yang sedang duduk di ruang tamu berkomentar. Di luar, hujan turun dengan deras. Membuat hawa dingin masuk melalui jendela dan pintu yang terbuka lebar.
Pagi-pagi sekali, Budhe Pinah sudah sampai di rumah Gendhis untuk membantu keperluan lamaran yang akan diadakan siang nanti.
Gendhis menoleh ke arah sumber suara, lalu menatap kotoran yang baru dia sapu. "Ini, kan, cuma debu, Budhe. Bukan sampah daun. Jadi ndak masalah kalau hanya sampai pintu saja." Gadis itu menggembungkan pipinya. Malas kalau harus mendengar ceramah dari budhenya pagi-pagi begini. "Lagian, ini masih hujan, lho. Nanti kalau dibuang di halaman, Budhe komentar lagi, terus Budhe bilang, 'Kok sapunya dibasah-basahi pakai air hujan tho, Nduk?'," ucapnya sambil menirukan cara bicara budhenya.
"Kamu itu, dibilangin kok ngeyel. Ndak sopan sama orang tua bilang seperti itu."
Gendhis memutar mata malas. "Tuh, kan. Budhe mulai lagi. Gendhis harus bagaimana, tho?"
"Ambil serok, terus buang di tempatnya."
"Iya, Budhe. Iyaaaa ...." Gadis itu mengembuskan napas.
Gendhis lalu pergi ke belakang rumah untuk mengambil serok. Saat kembali, Budhe Pinah masih duduk di tempatnya. Mengawasi keponakannya dalam diam. Merasa jengah dengan perlakuan dari Budhe, Gendhis sengaja menyerok kotoran debu tadi dengan hati-hati dan penuh perasaan.
"Sudah dibuang?" Budhe Pinah langsung bertanya saat melihat keponakan kembali ke ruang tamu tanpa membawa serok dan sapu lagi.
"Sudaaaah."
"Sini, duduk sama Budhe." Wanita itu menepuk kursi di sebelahnya, meminta Gendhis untuk duduk.
"Iyaaaa."
"Kamu tahu ndak, kenapa budhe melarang kamu berhenti nyapu di depan pintu?"
"Ora ilok kalau kata Budhe, 'kan?"
(Ora ilok: tidak sopan)
Wanita itu menatap serius. "Kalau nanti Mas Ragilmu berhenti di tengah jalan pas mau melamar bagaimana, hayo?"
Dengan mata membola dan raut wajah yang sengaja dibuat terkejut, Gendhis menahan napas dramatis. "Astaga ... Budhe benar! Seharusnya aku menuruti semua perkataan Budhe." Gadis itu mengangguk-angguk dengan mimik muka dibuat sungguh-sungguh.
"Budhe serius, Ndhuk." Budhe Pinah menatap kesal keponakannya itu. Padahal niatnya baik, tapi Gendhis malah menanggapi perkataanya seperti angin lalu.
"Ck, Budhe, kan, tahu kalau Gendhis tidak mempan ditakut-takuti seperti itu. Yang sekarang Budhe lakukan itu seperti meminta tulang pada lintah. Sia-sia. Lagi pula, apa hubungannya berhenti menyapu sama berhenti melamar?" Gendhis duduk sambil menaikkan sebelah lutut seperti bapak-bapak di warung kopi. Hanya sebentar, lalu dia tersenyum senang sambil menaik-turunkan alisnya. Sengaja. Dia tahu kalau Budhe Pinah tidak senang dengan cara duduk perempuan seperti itu. Seperti tidak pernah diajari unggah-ungguh, katanya.
(Unggah-ungguh: tata krama)
Melihat kelakuan Gendhis yang sengaja menggodanya, Budhe Pinah hanya mengusap dada. Mau dimarahi dengan cara apa pun, semua nasihat hanya masuk telinga kanan kemudian keluar telinga kiri. Wanita itu memijat pelipisnya seraya memejamkan mata. "Duh Gusti ... paringono sabaar."
"Aamiiinn!" Gendhis memasang senyum lebar melihat budhe pusing dengan kelakuannya.
Sebagai salah satu kerabat yang peduli, Pinah jelas sering memperhatikan Gendhis. Keponakannya itu memang sedikit berbeda. Kalau biasanya dia menasihati anak lain, mereka akan menunduk dan mendengarkan dengan seksama, kalau dengan Gendhis lain cerita. Jangankan mendengarkan, menyuruh dia duduk saja susahnya minta ampun. Malah terkadang, kalau sudah tahu akan diceramahi, Gendhis langsung kabur. Menghilang entah kemana.
Menatap Gendhis yang senyam-senyum karena merasa memenangkan perdebatan, Pinah hanya menghela napas. Tak lagi minat bertukar kata dengan anak dari kakak perempuannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
RomanceSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.