Bab 12. Tak Lekang oleh Panas, Tak Lapuk oleh Hujan

273 34 0
                                    

Pagi-pagi sekali, Jun sudah ada di rumah Gendhis. Duduk tenang dengan secangkir teh di hadapan. Setelah lama mengamati pemuda di depannya, gadis itu mengerti satu hal. Mas Jun itu menyebalkan. Pembawaan laki-laki itu yang selalu santai menanggapi semua ucapan ketusnya justru membuat Gendhis kesal.

"Ibu nemu di mana, tho, laki-laki ini? Kok sepertinya kalian akrab sekali," gadis itu menggerutu. Sejak Jun ada di sini, ibunya terlihat jauh lebih semringah. Memang hari ini mereka bertiga hanya duduk-duduk saja di ruang tamu. Melihat keduanya yang terlihat akrab, Gendhis sedikit tidak terima kalau perhatian sang ibu terbagi.

"Junaidi ini yang sering membantu ibu kalau ada keperluan apa-apa. Ibu juga suka cerita tentang kamu ke dia, loh."

Jun mengangguk antusias. Matanya berbinar kala menatap gadis yang sedari tadi menampakkan raut masam di hadapannya. "Ternyata memang lebih cantik kalau dilihat langsung, ya, Bu." Tanpa sungkan, pemuda itu mencomot pisang goreng yang masih hangat di hadapannya, melirik Gendis yang menatap tidak suka lalu mengedipkan sebelah mata bermaksud untuk bercanda.

Gadis itu bergidik ngeri, pura-pura muntah sambil memegangi perut.

"Dih, padahal kalau yang dikedipi Bu Bambang, pasti pipinya langsung merah merona." Jun terkekeh melihat reaksi Gendhis.

"Salah. Yang ada malah merah padam gara-gara menahan marah. Sudah tahu Bu Bambang wanita berumur, masih saja digoda."

Jun tertawa lebar melihat Gendhis yang menggerutu. "Ibu, anak gadisnya kok lucu sekali, tho? Jadi kepingin tak bawa pulang."

Digoda sedemikian rupa, Gendhis semakin kesal. Alisnya menukik dengan bibir yang terus-terusan mencebik sebal melihat ibu dan laki-laki di hadapannya tertawa lepas.

"Wes-wes, ojo gelut. Ibu mau masak dulu. Dari tadi diajak bicara terus sampai lupa masak." Jumini lalu bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju dapur.

Selepas kepergian sang ibu, Gendhis menoleh cepat ke arah laki-laki di sebelahnya dengan mata memincing tajam. "Kok panggilnya ba-bu ba-bu, sih? Memangnya itu ibu kamu?" ucapnya ketus.

Mata Junaidi mengerling jahil melihat raut wajah penuh ketidaksukaan yang Gendhis tunjukkan. Dengan penuh percaya diri, Junaidi menatap tepat bola mata Gendhis dengan senyum lebarnya. "Yo ndak apa-apa, lah. Mulut mulut aku. Hitung-hitung sambil latihan, kan? Siapa tahu beneran jadi mantu."

***

Laksmi terkejut saat siang bolong tiba-tiba pintu rumahnya diketuk kasar oleh seseorang. Setelah dibuka, ternyata Gendhis yang sedang menggerutu. Alis temannya menukik tajam sedangkan bibirnya mengerucut kesal. Gadis itu langsung duduk di kursi sesaat setelah dibukakan pintu. Melihatnya, Laksmi hanya menghela napas. Memang teman yang satu ini buta unggah-ungguh. Karakter buruknya itu tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Harusnya dia sudah tidak heran lagi.

"Pulang kapan kamu?" Laksmi melangkah mendekati Gendhis lalu duduk di dekatnya.

"Kemarin pagi."

Memiringkan kepala, Laksmi menatap heran teman di sampingnya yang masih terus menggerutu dengan suara kecil. "Itu wajah kenapa ditekuk, sih? Sudah jelek, nanti tambah jelek, lho."

"Biar saja." Gendhis melipat tangannya dengan wajah cemberut. "Aku masih kesal, tahu. Mosok, ya, ada laki-laki menyebalkan mampir di rumah. Dari tadi ndak pulang-pulang. Heran, aku. Kok ya betah duduk terus dari pagi. Memangnya dia ndak ada kerjaan lain, apa?"

Laksmi mengerutkan dahi. "Hah? Memangnya siapa?"

"Ituuu, si Junaidi. Malas banget kalau lihat wajah dia. Mbelnger."

(Mbelnger: bosan banget)

Laksmi mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Lah, cuma mampir saja, kan? Kok kamu marah-marah?"

"Lha wong orangnya nggilani."

Laksmi tersenyum simpul menanggapi ucapan Gendhis. "Hati-hati, siapa tau nanti kamu malah suka," ucapnya sambil terkekeh pelan.

"Ya ndak mungkin, lah. Ngarang!"

"Terus kenapa kamu malah pergi ke sini?"

"Yo kabur, lah. Gerah kalau harus dekat-dekat sama dia."

GendhisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang