Gendhis tahu kalau sedari tadi ibunya terus memperhatikan dirinya dengan mata memicing. Ini pasti gara-gara Budhe Pinah! Ck, memang budhe yang satu itu kelewat peduli. Saking pedulinya, sampai membuat gadis itu jengah. Saat semua sedang sibuk, ibu Gendhis akhirnya memiliki waktu untuk menarik anaknya ke dalam kamar lalu memintanya untuk duduk.
"Iya, Gendhis tahu kalau Gendhis salah. Maaf, Bu." Gadis itu tersenyum manis tanpa dosa. Berharap ibunya luluh dan tidak jadi memarahi dirinya.
"Ibu belum bilang apa-apa, lho. Kok kamu ndhisiki."
(Ndhisiki: mendahului)
"Raut di wajah Ibu sudah terbaca jelas kalau Gendhis yang bersalah."
Ibu Gendhis memejamkan mata. Dia harus tenang karena semakin dikasari, anak gadisnya justru semakin memberontak. "Ndhuk, kamu tak kasih nama Gendhis karena kamu perempuan. Berharap agar tingkah lakumu manis seperti gula. Bukan seperti ini." Dengan penuh perhatian, Jumini mengusap lembut rambut anaknya.
"Ibu, Gendhis, kan, cuma mengatakan apa yang Gendhis pikirkan saja. Katanya, kalau mau mengucapkan sesuatu harus jujur dari hati. Leres?" Gadis itu tersenyum manis. Di hadapan ibunya, meski sedang membangkang sekali pun, Gendhis harus bersikap lemah lembut seperti yang ibunya harapkan. Bukannya apa-apa, tapi ibu selalu mencoba mengerti dirinya. Kalau dia menyakiti hati ibu, dengan siapa lagi Gendhis harus bermanja-manja? Mas Ragil? Duh, jangan. Belum waktunya. Nanti tetangga sebelah rumah kesenangan mendapat bahan gunjingan baru.
"Ya, mbok dipikir-pikir mana yang pantas diucapkan sama yang tidak. Ibu ndak minta banyak-banyak, kok. Cukup jaga sikap sama jangan melawan orang tua. Nurut, manut. Kamu, kan, sudah besar."
"Hmmmm, siapa ya, yang bilang kalau Gendhis ini selalu terlihat seperti anak kecil walau badannya sudah melebihi ibunya?" Mata Gendhis mengerjap-ngerjap, jari telunjuknya yang lentik mengetuk-ngetuk dagu tanda sedang berpikir.
Jumini menggaruk pelipis yang tidak gatal. Anaknya ini memang benar-benar menguji kesabaran. Setiap dinasihati, adaaaa ... saja yang dia lakukan untuk membalas lawan bicaranya. Entah Jumini harus merasa senang atau sedih.
"Ndhuk, niat Budhe Pinah itu baik. Apa salahnya kamu menurut? Kok ya masih ngeyel kalau dibilangi? Untung budhemu sabar."
Gendhis menganggukkan kepalanya. Perdebatan ini pasti akan terus berlanjut kalau dia tidak mengalah. Berhubung sudah bosan, lebih baik dia setujui saja semua perkataan ibu. "Nggih, Ibu. Gendhis dengar."
"Jangan cuma nggah-nggih nggah-nggih saja. Tapi kamu juga harus bisa melakukan."
"Inggih, Kanjeng Ndoro. Kula mangertos. Sendika dhawuh," ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan di wajah, memejamkan mata, lalu sedikit membungkuk seperti gerakan orang yang sedang menyembah.
(Sendika dhawuh : saya patuh kepada pimpinan. Dalam konteks ini, Gendhis patuh pada ibunya)
"Ck, yo wis. Setelah ini, kamu masuk dapur, terus ikut bantu memasak. Jangan ngamar terus. Ora ilok."
"Inggih, Kanjeng Ndoro."
Seperti kuda lepas dari pingitan, Gendhis mengembuskan napas lega ketika akhirnya sang ibu keluar kamar. Gadis itu lalu membuka almari, mengambil pita hitam kesayangannya, lalu memakai pita tersebut di samping kepala. Hari ini, suasana hatinya sedang baik. Memakai pita pemberian Ragil akan membuat semua terasa sempurna.
Kedatangannya ke dapur langsung disambut oleh sanak saudara yang hadir membantu acara pertunangan dia hari ini.
"Wah, yang sebentar lagi mau menikah, sudah siap belum, Ndhuk?"
Mendengar pertanyaan budhe tentang pernikahan, tiba-tiba dirinya teringat Laksmi dan segala kerepotan rumah tangganya.
Menikah, ya? Gendhis tidak tahu dia sudah siap atau belum. Menua dengan Ragil memang menjadi impiannya. Tapi bersedia menghadapi semua kesukaran dalam rumah tangga? Dia tidak yakin.
Untuk menanggapi pertanyaan budhenya, Gendhis hanya tersenyum tipis. Dia lalu meraih pisau dan wortel yang tergeletak di sana dan mengupasnya. "Baru mau lamaran ini, lho. Masih lama."
"Ndhuk, nikah iku wani ngalah. Nanti kalau kamu sudah hidup berdua dengan suami, pasti adaaaa ... saja masalah-masalah kecil. Entah beda pendapat, beda keinginan, pokoknya kalau masih hidup, ya, masih ada masalah. Kalau sudah seperti itu, kuncinya mengalah. Jangan ingin menang sendiri, nggih," ucap Budhe Pinah sungguh-sungguh. Berhubung hari ini Gendhis sedang menjadi anak baik, jadi dia hanya tersenyum lebar seraya mengangguk.
(Wani ngalah: berani mengalah)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
RomanceSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.