"Eh, ibu-ibu semua sudah tahu belum kalau lamaran Gendhis sama Ragil tiba-tiba batal?"
Pagi-pagi sekali, para warga khususnya ibu-ibu sudah berkumpul di warung untuk membeli berbagai keperluan dapur, terutama sayur-mayur. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi langit sudah terlihat terang.
Seperti hari-hari yang lalu, rasanya kurang lengkap kalau pagi yang cerah seperti ini tidak dibuka dengan bergunjing. Kali ini, topiknya tentang tetangga mereka yang tiba-tiba saja batal lamaran.
"Iya, loh! Kemarin saya ndak lihat iring-iringan keluarga laki-laki ke rumah Gendhis. Yang ada cuma Pak Hamdi dan istri saja. Itu pun Ragil ndak ikut!" dengan nada menggebu-gebu, Bu Romlah selaku pemilik warung membagikan informasi yang dia ketahui kepada para pelanggannya.
"Kok, bisa?" salah satu ibu-ibu dengan blus bunga mawar pudar serta kain jarik bertanya dengan nada keheranan.
"Tahu, ndak? Dua hari yang lalu saya lihat Pak Hamdi dan istrinya bawa banyak tas seperti mau pindahan saja. Malam-malam, loh, ibu-ibu." Bu Bambang selaku tetangga yang bertempat tinggal di dekat rumah Ragil ikut memberikan informasi yang dia punya.
"Bu Bambang tahu dari mana?"
"Biasalah, Somad anak saya sering lupa mengunci kandang ayam. Jadi saya yang harus cek dulu. Eh, pas mau masuk, Pak Hamdi lewat. Tadinya mau saya sapa, tapi melihat mereka yang tampak ndak bersemangat, ya saya langsung masuk saja. Lalu mengintip dari sela pintu," ucap wanita tambun itu penuh keyakinan.
"Ah, paling Bu Bambang salah lihat. Lagian, malam-malam begitu pasti susah memperhatikan raut wajah orang." Yu Sarti yang menggunakan blus mawar pudar mengatakan pendapatnya. Memang di antara ibu-ibu yang suka bergunjing, Yu Sarti ini yang paling husnuzon alias berbaik sangka dengan semua orang.
Bu Bambang seketika melotot, tidak terima informasinya diragukan oleh Yu Sarti. "Heh, kamu meragukan mata saya, ya? Tenang saja, yang saya lihat ini pasti akurat rat-rat!" Wanita tambun itu lalu beralih ke ibu-ibu lain yang masih menatap penasaran. Mengabaikan Yu Sarti sepenuhnya. "Biasanya, kalau lamaran batal itu kira-kira karena apa, ya, ibu-ibu? Jangan-jangan, salah satu dari mereka sudah menemukan pasangan yang lebih baik!"
"Bu Bambang kalau bicara tolong dijaga. Seperti pepatah, ombaknya kelihatan, pasirnya tidak kelihatan. Kalau masih berupa desas-desus, jangan dilebih-lebihkan. Ndak baik."
Mendengar Yu Sarti menasihatinya, Bu Bambang seketika melotot. "Ha---"
"Sssstttt! Ada Gendhis, tuh!" Bu Romlah mendesis, mencoba melerai kedua pelanggannya saat Gendhis selaku orang yang menjadi bahan pergunjingan hari ini menampakkan wajahnya dari jauh.
Bu Romlah tersenyum pada gadis itu lalu basa-basi menyapanya. "Eh, kamu, Ndhuk. Mau beli apa pagi-pagi sudah ke warung?"
Gendhis balas tersenyum. "Tepung beras, Budhe."
Bu Romlah kemudian masuk ke dalam warungnya untuk mengambil pesanan Gendhis. Saat sedang menunggu, bahunya dicolek oleh Bu Bambang yang berdiri tak jauh darinya.
"Eh, Ndhuk, memangnya benar kalau lamarannmu batal?"
Sesaat setelah mendengar pertanyaan itu, Gendhis sempat terkejut, tapi dia buru-buru menormalkan ekspresinya. "Iya," ucapnya lesu.
"Kenapa?" tanya Bu Bambang dengan raut wajah penuh rasa ingin tahu.
"Ndak tahu, Budhe."
Bu Bambang masih ingin mengajukan pertanyaan, tetapi Bu Romlah sudah lebih dahulu keluar membawakan pesanan Gendhis.
"Ckckck, ya wes. Sing sabar yo, Ndhuk."
Menanggapi ucapan Bu Bambang, Gendhis hanya tersenyum tipis, lalu pamit kepada ibu-ibu yang berada di warung tersebut.
***
Setelah meletakkan tepung beras di meja, Gendhis langsung menemui ibunya yang sedang memarut singkong untuk dijadikan combro.
"Bu, kalau boleh tahu, Mas Ragil membatalkan lamaran karena apa?"
Jumini yang mendengar pertanyaan Gendhis mendadak menghentikan pekerjaannya. Wanita itu hanya menatap sendu ke arah Gendhis, kepalanya menunduk, lalu kembali memarut singkong tanpa berniat menanggapi pertanyaan anak gadisnya.
"Bu ... tolong jawab. Gendhis juga berhak tahu." Gadis itu berusaha membujuk ibunya dengan tatapan polos tanpa dosa.
"Kamu yakin mau mendengar ceritanya?"
Gendhis mengangguk yakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
RomanceSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.