Tradisi ruwatan bermula dari kama salah Bathara Guru saat sedang bercinta bersama Dewi Uma dengan penuh amarah.
(Kama: sperma)
Kala itu, Bathara Guru dan Dewi Uma dalam perjalanan mengelilingi pulau Jawa mengendarai lembu terbang. Suatu sore yang indah, mereka terbang melintas di atas samudra. Air laut berkilau diterpa cahaya dan langit jingga yang indah dengan matahari berbentuk bulat sempurna di garis cakrawala membuat Bathara Guru begitu terpesona. Hasrat berahinya menggelegak tak tertahankan.
Melirik Dewi Uma yang duduk di belakangnya, timbul keinginan yang kuat dari Bathara Guru untuk bercinta dengan sang permaisuri.
"Langit senja ini indah sekali, bukan? Alangkah lebih indah kalau kita bercinta dan memadu kasih di atas samudra ini, Adinda."
Sayangnya, niat Bathara Guru tidak disambut baik oleh permaisurinya.
"Maaf, Kakanda, tapi aku tidak berpikir demikian."
Mendengar jawaban Dewi Uma, Bathara Guru mendesah kecewa. "Oh, ayolah, Adinda ...." Bathara Guru terus membujuk sang permaisuri. Merayu dengan kata-kata manis agar Dewi Uma menyetujui keinginannya untuk bercinta.
Karena tak kunjung mendapatkan reaksi yang diharapkan, Bathara Guru yang kesal laku membalik badannya menghadap Dewi Uma. Tangan Dewi Uma dia pegang erat-erat agar tidak memberontak.
"Apa yang kau lakukan, Kakanda? Tolong hentikan!" Dewi Uma merasa sangat marah. Dia memberontak sebisa mungkin tapi cekalan di tangannya terlalu erat. "Kakanda, sifatmu ini seperti raksasa bertaring yang melakukan sesuatu seenaknya di di sembarang tempat!"
Karena dipenuhi nafsu berahi, Bathara Guru mengabaikan semua perkataan Dewi Uma dan terus melanjutkan aktivitasnya dengan penuh amarah. Tak lama, kamanya keluar dan tumpah di atas samudera. Kama itu menyebabkan gelombang air yang bergejolak hebat. Air laut pun terasa amat panas seperti api yang membara. Kama di lautan yang tak sengaja tumpah berpendar amat terang melebihi sinar matahari, membuat Bathara Guru dan Dewi Uma menyipitkan mata.
Menyadari air laut yang tadinya tenang, setelah terkena kama lalu bergejolak tidak terkendali, Bathara Guru berusaha membunuh dan memusnahkan kama tersebut. Sayangnya, beberapa saat kemudian kama berubah menjadi raksasa beringas dan tak tahu adab.
Pepatah rebung tak jauh dari rumpun memang benar adanya.
Hari berganti, kama salah yang kemudian diberi nama Bathara Kala menjadi raksasa rakus pemakan segala. Hewan dan tumbuhan di dalam samudra hampir habis dimangsa. Belum lagi Bathara Kala yang meminta pada ayahnya untuk diberi makan manusia dengan ciri-ciri tertentu, seperti anak tunggal laki-laki, anak yang lahir saat matahari terbenam, anak yang lahir dililit usus, anak yang menyisakan makanan di piring, anak yang membakar rambut, dan masih banyak lagi.
Suatu hari, Bathara Guru datang memberi senjata kepada Bathara Kala. Apa yang hendak dimakannya harus dibunuh dahulu dengan senjata itu. Ketika Bathara Kala datang ke Telaga Madirga untuk mencari makan, kebetulan sekali di sana terdapat seorang pemuda bernama Jaka Jatus Mati. Pemuda itu pergi ke telaga dengan tujuan untuk menyucikan diri agar bebas dari malapetaka.
"HAHAHAHAHAHA!" Bathara Kala menyeringai lebar melihat mangsa di depan mata.
"Ma-mau apa kamu?" Mendengar suara raksasa yang menggelegar, Jatus Mati jelas ketakutan. Dia menatap ngeri sosok tinggi besar yang berdiri tak jauh darinya.
"Hah! Apa lagi kalau bukan memangsamu. Aku lapar! Datanglah kemari, wahai pemuda!"
Mengetahui bahwa nyawanya terancam, Jatus Mati lari tunggang-langgang untuk menyelamatkan dirinya. Bathara Kala yang murka melihat mangsanya mencoba kabur pun ikut berlari mengejar.
Jatus Mati terus berlari. Dia berbaur dengan orang-orang yang sedang menggilas jamu dan bersembunyi di sana. Sayang, tempat persembunyiannya diketahui oleh Bathara Kala. Maka Jatus Mati berusaha untuk lari lagi. Tapi sial, dia
tersandung batu pipisan sehingga alat penggilingan jamu itu patah. Jatus
Mati kemudian bersembunyi di tempat orang menanak nasi, tetapi ketahuan juga. Jatus Mati berlari kencang. Kali ini dia tak sengaja menyepak dandang hingga terguling.Ketika mendengar suara gamelan, Jatus Mati ikut membaur dengan para penabuh gamelan. Bathara Kala sangat terpikat dengan tontonan wayang kemudian datang mendekat. Ketika Ki Dalang Kanda Buwana melemparkan lelucon, Bathara Kala tertawa terbahak-bahak. Akibatnya, semua penonton terkejut. Mereka lari pontang-panting, takut dengan kedatangan Bathara Kala. Karena suasana sudah tidak kondusif, pertunjukan wayang pun dihentikan.
"Kenapa tiba-tiba berhenti?" Bathara Kala menggeram marah. Napas raksasa itu berembus keras seakan ingin menerbangkan semua benda di sekitarnya.
"Aku akan melanjutkan pagelaran ini, tapi ada syaratnya." Bathara Wisnu yang sedang menyamar menjadi Ki Dalang Kanda Buana berkata dengan penuh wibawa. "Sebagai bayaran, berikan satu-satunya senjata yang kau punya untukku."
Tanpa berpikir dua kali, Bathara Kala langsung memberikan senjatanya kepada Ki Dalang Kanda Buana. Namun, sesaat setelah senjata tersebut berada di tangan Ki Dalang, mata Bathara Kala tak sengaja melihat Jatus Mati di antara para pemuda yang menabuh gamelan. Seketika tatapannya kembali memerah penuh amarah.
"HEI! TERNYATA KAU BERSEMBUNYI DI SINI!" Bathara Kala meraung keras. Sesaat kemudian dia teringat kalau mangsa yang dia makan harus dibunuh menggunakan senjata yang diberikan sang ayah, Bathara Guru.
"KEMBALIKAN SENJATAKU!" seru Bathara Kala kepada Ki Dalang Kanda Buwana. Raksasa itu bersiap mengamuk, tapi kemudian gamelan kembali dibunyikan, pagelaran wayang kembali dilanjutkan.
Bathara Wisnu yang sedang menyamar menjadi Ki Dalang Kanda Buwana kemudian mengangkat wayang kulit perwujudan Bathara Kala, mencelupkan ke air dengan kembang setaman, lalu mengucapkan sebuah mantra, “Hai Bathara Kala yang menimbulkan malapetaka dan kecelakaan, hentikanlah niatmu. Hai kamu yang datang menyerang, hentikanlah niat jahatmu. Hai kamu yang menyebabkan kelaparan, berilah kemakmuran. Hai kamu yang menyiksa, hentikanlah penganiayaanmu. Hai kamu yang menjadikan lawan, resapilah rasa kasih sayangmu.”
Setelah Bathara Wisnu selesai mengucapkan mantra, maka selesailah pertunjukan wayang Murwakala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
RomanceSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.