"Kemarin, kenapa kamu tiba-tiba menangis lalu ingin diruwat?"
Hari ini Minggu. Gendhis dan Junaidi duduk santai di ruang tamu. Ibunya sedang sibuk di belakang menggoreng bakwan jagung spesial. Untuk calon mantu, katanya. Gendhis hanya bisa mencibir, tapi diam-diam, saat tidak ada yang melihatnya, gadis itu tersenyum kecil.
"Tahu dari mana?"
Menyeruput air putih yang disuguhkan di atas meja, Jun lalu menjawab, "Ibumu cerita."
"..."
"Kenapa diam?"
"Aku ndak mau menceritakannya. Apalagi ke kamu. Biarlah jadi rahasia."
Jun mengangkat alis. "Kenapa begitu?"
Gendhis hanya menutup mulut tanpa mengatakan apa-apa. Bagaimana dia mau cerita, wong kalau dipikir-pikir lagi, yang dia alami itu benar-benar memalukan. Kadang kalau diingat-ingat, hati Gendhis masih merasa sedikit sesak. Tapi jika dia harus bercerita kepada orang lain, terlebih ini Mas Jun, Gendhis masih belum berani. Malunya itu, lho.
Karena Gendhis tak mau menjawab pertanyaan Junaidi, keduanya saling mengatupkan bibir. Jun lalu melirik gadis di sampingnya yang tak bisa diam. Entah menggerak-gerakkan kaki, menendangi meja, sampai mengeruk-ngeruk kulit kayu yang terkelupas. Saking gemasnya, Jun sampai tidak sadar kalau tangannya sudah berada di kepala Gendhis, menepuk-nepuk pelan hingga gadis itu menoleh.
Junaidi sempat terkejut saat mereka saling tatap, tapi hanya sekejap saja. Setelah itu, dia langsung nyengir, memamerkan gigi-giginya yang rapi. "Kamu ndak ada rencana pengen menikah, gitu? Ndak takut dibilang perawan tua?"
Gendhis menyipitkan mata, menatap sengit laki-laki yang kini duduk di sampingnya. "Kenapa Mas Jun malah tanya-tanya seperti itu? Kan Mas Jun tahu sendiri kalau aku sudah tebal telinga tiap dibilang perawan tua. Lagi pula, perkara mencari jodoh itu ndak semudah seperti membalikkan adonan donat di atas minyak panas, tahu!"
Pemuda itu bersedekap lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Padahal, kalau kamu pengen segera menikah, aku siap, loh, jadi calonnya," iseng, Jun memberanikan diri untuk mengatakan hal tersebut. Singai dua segeragai. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Gendhis mencibir. Sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan yang laki-laki itu tuju. "Jangan ngimpi, ya!"
"Serius." Jun menatap Gendhis dalam-dalam, hingga gadis itu mengerjap tak nyaman.
Gendhis menciut saat pemuda di sampingnya tak kunjung melepaskan pandangan. "Hng, sebenarnya aku belum siap menikah," ucapnya lirih.
"Kenapa?"
Gadis itu menghela napas berat, lalu menatap atap rumahnya yang dihiasi genting, bambu, dan sawang laba-laba. "Bayangkan, setiap hari harus terkurung di dalam rumah, mengurus anak dan suami, tidak bisa bebas bermain seperti dulu lagi. Sungguh kehidupan yang sangat membosankan."
"Padahal, kalau kamu menikah denganku, kamu masih boleh bermain sama Lastri, loh."
"Boleh?"
Jun mengangguk.
"Bahkan kalau aku menginap satu minggu penuh tanpa pulang ke rumah?" Gendhis menaik-turunkan kedua alisnya. Senyum lebarnya muncul dan keresahannya akan pernikahan langsung menguap.
"Memang kamu akan melakukannya?"
"Tidak, sih. Aku juga masih tahu diri."
"Bagus." Jun mengangguk-angguk. "Nanti, kalau kita sudah menikah, terus ada sesuatu dariku yang tidak kamu suka, bilang, ya. Jangan diam-diam saja setelah itu melarikan diri. Dalam hubungan, komunikasi itu penting."
"Dih, Mas Jun ini terlalu percaya diri. Koyok kita bakal jodoh saja."
"Memangnya kamu ndak mau sama aku?"
"Ndak."
Jun menghempaskan punggung pada sandaran kursi, lalu memegang dadanya dengan raut penuh kesakitan seolah-olah pemuda itu terluka dengan penolakan Gendhis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
Roman d'amourSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.