Setelah pergi dari hadapan Ragil, Gendhis menyandarkan tubuhnya pada tiang rumah. Gadis itu menengadah menatap langit cerah berawan, sedangkan telapak tangannya meraba jantung yang berdetak semakin kencang meskipun dia sudah jauh dari laki-laki itu.
Semilir angin sepoi-sepoi menerbangkan beberapa anak rambut yang tidak ikut tergelung. Gendhis menghela napas. Dia pikir dia sudah bisa melupakan Ragil. Tapi ternyata, setelah bertemu laki-laki itu lagi, Gendhis masih saja merasa gugup. Mungkin karena perpisahan mereka yang tidak terlalu jelas. Tahu-tahu saja batal tunangan. Atau mungkin juga karena di dalam ingatannya, Ragil masih selalu menjadi yang terbaik.
Sejak mereka dekat, Ragil tidak pernah macam-macam, pembawaannya juga halus dan sopan. Hal ini pula yang membuat ibunya sangat bahagia kala akan mendapat mantu seperti Ragil. Kata ibu, Gendhis dan laki-laki itu pasti bisa saling mengisi satu sama lain.
"Lho? Mbak ngapain di sini?"
Gendhis langsung terlonjak saat suara seorang perempuan menyapanya. "Sekar! Kamu bikin kaget saja, lho. Ndak ada suara tiba-tiba kamu sudah di sini."
Sekar salah satu sepupunya yang akan menikah sebentar lagi. Usianya sekarang menginjak enam belas tahun. Jarak umur mereka memang tidak berbeda jauh. Hanya terpaut satu tahun. Tapi dari dulu Sekar sudah terbiasa memanggilnya dengan embel-embel mbak. Padahal kalau dipanggil nama saja, Gendhis tidak akan keberatan.
Sekar bertanya dengan tatapan penuh selidik, "Mbak, sih, melamun terus. Mikirin apa, tho?"
Gendhis mengibaskan tangannya. "Ndak, kok. Cuma istirahat sebentar. Kamu sendiri mau apa?"
Sekar memincingkan mata tak percaya, tapi dia juga bukan orang yang suka mengurusi masalah orang lain. Jadi gadis itu tidak ambil pusing kalau saudara sepupunya mencoba mengalihkan perhatian. "Ini, aku disuruh mencuci gelas. Kata ibu, gelasnya baru diambil dari kelurahan, jadi harus dibilas biar bersih."
Gendhis tersenyum semringah. "Kalau begitu aku bantu, ya?"
Sekar mengangguk sebagai jawaban. Mereka berdua lalu berjalan beriringan menuju sumur.
Menoleh ke arah sepupunya, Gendhis lalu bertanya, "Kamu bukannya harus diam di kamar, ya? Buat acara midodareni."
"Itu, kan, nanti malam, Mbak. Kalau sekarang ya ndak apa-apa, lah."
***
Setelah selesai mencuci gelas, Gendhis yang mau masuk ke dapur tiba-tiba ditarik tangannya oleh Budhe Pinah. Wanita itu membawanya ke dekat sumur dan mengajak berbicara berdua. Ditilik dari wajah Budhe Pinah yang selalu terlihat menyebalkan di mata Gendhis, sudah pasti yang budhenya katakan tidak jauh-jauh dari memberi nasihat-nasihat menyebalkan.
"Sebenarnya budhe ndak yakin kamu bisa membantu. Kalau membantu mengacaukan, budhe ndak kaget lagi. Kamu dan masalah bagai inai dengan kuku." Budhe Pinah menghela napas lelah. "Tapi melihat ibumu yang bahagia sekali kalau kamu datang untuk membantu lagan, budhe jadi merasa jahat kalau melarang keinginan ibumu."
Menepuk pelan bahu sang keponakan, Budhe Pinah lalu berkata, "Jadi Gendhis, jangan mengacau. Coba buktikan kalau kamu sebenarnya juga bisa dipercaya. Bukannya budhe benci kamu, tapi demi kelangsungan acara nikah anak budhe sendiri."
Gendhis menyipitkan matanya. Meski Budhe Pinah berkata dengan nada lembut, tapi gadis itu merasa seperti sedang disudutkan. Dia tersenyum miring, menatap mata Budhenya dengan penuh keyakinan. "Oh, Budhe tenang saja. Gendhis ndak akan mengacau, kok."
Budhe Pinah mengangguk pelan. "Semoga saja ucapanmu benar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
RomanceSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.