Ini semua gara-gara jarik! Gendhis merasa kalau dirinya sama sekali tidak bersalah. Gara-gara kain jarik yang melilit kaki, Gendhis jadi kesulitan berjalan. Mau melangkah lebar-lebar dia kesusahan, tapi kalau melangkah kecil-kecil, jalannya jadi lama sekali. Keadaan yang dia hadapi ini bagai hela rambut dalam tepung.
Padahal tadi pagi Gendhis sudah meminta izin untuk memakai rok batik biasa saja. Tapi ibunya terus memaksa. Ditambah lagi Budhe Pinah yang menatap dengan wajah menuntut agar Gendhis menurut perkataan sang ibu. Jadi dengan berat hati dan sangat-sangat terpaksa, Gendhis memakai jarik tersebut.
"Jangan melamun terus. Nanti kesurupan, loh."
Gendhis terlonjak kaget saat mendengar suara itu. Ketika dia menengok, wajah Junaidi yang tersenyum lebar langsung terlihat jelas di matanya. Gadis itu menatap datar tanpa minat. "Siapa yang peduli? Mau lari-lari, teriak, atau guling-guling, ya terserah aku, lah."
"Kamu ini gampang sekali tersinggung, ya?" Jun lalu duduk tepat di sebelah Gendhis tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari gadis itu.
"Sok tahu!" Gendhis berucap sengit, melotot pada Junaidi selaku pemuda paling menyebalkan sekampung.
Tadi, saat ibu dan budhe memarahinya, gadis itu langsung kabur ke belakang rumah Budhe Pinah. Di sana ada tempat duduk panjang yang terbuat dari bambu. Orang-orang di sini biasa menyebutnya sebagai panggrok. Dengan pemandangan hijaunya sawah di pagi hari, memang tempat ini cocok sekali untuk menyendiri.
Junaidi menengok ke samping, menatap Gendhis yang menampakkan wajah masam andalannya. Pemuda itu tersenyum sekilas saat mengamati raut muka gadis di sampingnya. "Kok kamu sendirian di sini, tho? Mending duduk manis di tempat hajatan sambil makan kue putu ayu."
"Ndak minat. Sana, kamu pergi sendiri saja." Gendhis lalu mendorong lengan Junaidi sekuat tenaga agar laki-laki itu menjauh.
Bukannya marah, perbuatan Gendhis justru membuat Junaidi tertawa jahil. Ingin terus-terusan menggoda Gendhis agar dia semakin kesal.
"Ndak mau, ah. Sepertinya hari ini ada yang perlu ditemani." Junaidi menatap mata Gendhis, lalu menaik-turunkan alisnya. Kalau diingat-ingat, wajah gadis itu memang tidak jauh-jauh dari raut marah dan sebal setiap kali ada di sampingnya. Padahal kemarin Jun melihat Gendhis sedang tertawa bersama Laksmi. Apakah di mata gadis itu Jun terlalu menyebalkan?
Tatapan Gendhis memicing. "Tahu dari mana kalau aku pergi ke sini? Jangan-jangan, Mas Jun sengaja mengikuti dari belakang, ya? Ck, dasar penguntit!"
"Hooh." Laki-laki itu mengangguk mengiakan. Saat membantu menata kursi, Jun memang tidak sengaja melihat Gendhis yang berjalan ke belakang rumah. Berhubung pekerjaannya sudah selesai, Junaidi lalu menyusul Gendhis. Tidak lama, kok. Kalau sudah puas menggoda gadis itu hingga wajahnya memerah karena kesal, maka Jun akan kembali lagi. "Kamu, tuh, seharusnya bersyukur masih ada yang memperhatikan. Nanti kalau orang-orang yang peduli sama kamu tiba-tiba pergi, barulah kamu menyesal."
Gendhis tertawa mencemooh. "Ndak akan terjadi! Kalau mereka pergi, aku pasti akan senang seumur hidup."
"Awal-awal memang kamu akan senang. Lewat setahun dua tahun, pasti akan ada saat di mana kamu bakal kangen mereka. Lagi pula, kalau kamu ndak salah, ibu sama budhemu ndak akan marah, kok."
"Oh, jadi kamu mau menyalahkanku juga? Kalau begitu, mending pergi saja sana! Berisik, tahu." Gadis itu sekarang menghadap ke arah Junaidi sepenuhnya. Alisnya menukik dengan tatapan setajam pisau dapur menatap ke arah Junaidi sengit.
"Ndak mau. Aku ndak akan pergi dari sini." Pemuda itu tetap teguh pada pendiriannya. Duduk diam sambil bersedekap, mengabaikan Gendhis sepenuhnya.
Karena Gendhis merasa kalau lawan bicaranya tidak akan beranjak hingga sore menjelang, dia lalu mengalah. "Ya sudah, aku yang pergi kalau begitu."
Junaidi memegang pergelangan tangan Gendhis saat dia akan beranjak pergi. "Eeeeehhh, tuh, kan. Memang gampang sekali tersinggung ini anak. Duduk lagi!"
Gadis itu mendengkus kesal, tapi dia tetap duduk di tempat semula.
"Oh, iya lupa. Kamu mau kembali ke rumah Budhe Pinah, ya? Dari pagi belum sarapan, 'kan?"
Mendengar kata sarapan, perut gadis itu langsung berbunyi.
"Nah! Kalau begitu, yuk ke tempat Budhe Pinah. Aku temani."
Tangan Gendhis ditarik lembut oleh Junaidi agar dia mau berdiri dan mengikuti langkahnya untuk mengambil makan. Karena Gendhis juga lapar, mau tidak mau, dia bangkit dari duduknya dan mengikuti Junaidi menuju rumah Budhe Pinah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
RomanceSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.