Sesampainya di rumah Budhe Pinah, Gendhis hanya mencomot satu arem-arem untuk mengganjal perutnya. Bagaimanapun, dia juga merasa gengsi kalau harus menyendok nasi dan lauk dengan wajah biasa seolah tak terjadi apa-apa. Semahal-mahal gading, kalau patah tiada harga. Dalam kasus Gendhis, semakin dia berulah nakal, semakin kerepotan ibunya dan semakin cerewet pula mulut Budhe Pinah.
Kembali ke rumah Budhe Pinah saja sudah membuat dirinya malu hati. Untung di samping Gendhis ada Mas Jun yang selalu mengajak berbicara. Walaupun kadang-kadang pertanyaannya sangat-sangat basi sekali alias tidak penting, tapi setidaknya pikiran Gendhis sedikit teralihkan.
Satu-persatu tamu sudah mulai berdatangan. Biasanya kalau lagan seperti ini, para wanita bertugas di dapur untuk memasak makanan atau mencuci piring, sedangkan laki-laki bertugas di depan untuk mengambil piring dan gelas yang kotor atau menata kursi yang kurang. Namun, hari ini Gendhis bertugas di depan bersama Jun. Ke mana pun laki-laki itu pergi, Gendhis setia mengikuti dari belakang seperti anak ayam.
"Kamu tahu ndak, lagan itu ada aturannya. Kita harus tahu kapan sendoknya habis, gelasnya habis, atau makanan di meja prasmanan habis. Kalau ndak tahu ilmunya, siap-siap saja plonga-plongo seperti kebo."
"Terus?" Gendhis menoleh dengan tatapan penasaran. Mereka berdua sedang duduk di salah satu kursi menunggui para tamu yang sedang makan agar piring kotornya bisa diangkut ke belakang.
"Tuh, lihat. Somad anaknya Bu Bambang. Sudah tahu di meja depannya ada piring kotor. Dia malah sibuk mengamati orang lalu-lalang saja. Kalau lagan, Somad itu masuk tipe lumoh. Waktu orang-orang kerja, dia cuma duduk santai."
Mendengarnya, hati gadis itu merasa tertohok. Tapi dia diam saja, mencoba mengalihkan perhatian dengan menanyakan hal lain. "Kalau kamu tipe apa?"
Junaidi tersenyum jumawa, merapikan kerah baju batik yang dia pakai dengan penuh percaya diri. "Selain rajin, aku ini memegang jabatan sebagai seksi kesejahteraan." Laki-laki itu merogoh sesuatu di kantung celana hitamnya dan menarik selembar uang dari sana. "Tadaaaa! Duit untuk beli rokok."
Gendhis tertawa lebar, bertepuk tangan seolah menyetujui. "Terus, kalau aku tipe apa?"
Jun mengelus dagunya pura-pura sedang berpikir. "Kamu itu modelan anak baru yang masih canggung. Apa-apa harus dicontohi dulu."
"Bukan tipe lumoh?" Gadis itu mengangkat alis, tertawa lebar dengan mata berbinar.
"Ya, itu masuk juga, sih." Jun mengangguk-anggukkan kepala. Dia lalu berdiri, menatap Gendhis yang balik menatapnya penasaran. "Aku mau ke belakang dulu, ya. Kamu duduk di sini saja, ndak usah ikut."
Gendhis mengerutkan dahi. Jelas merasa keberatan kalau dia ditinggal sendirian. "Kenapa aku ndak boleh ikut?" protes gadis itu.
"Kamu mau mengintip orang pipis?"
"Ck, ya sudah sana. Syuuuh!" Gendhis memutar bola mata malas, lalu mengibaskan salah satu tangannya untuk mengusir Jun dari hadapan.
Gendhis menatap tenda yang berdiri kokoh menaunginya. Kain biru yang dihias sedemikian rupa membuat tempat ini tampak lebih cantik. Melirik ke depan, gadis itu melihat Sekar dan suaminya yang duduk di kursi. Tersenyum bahagia karena sedang menjadi raja dan ratu barang sehari. Aneka macam bunga dan daun yang diambil dari tempat sekitar menghiasi tempat duduk Sekar dan suaminya. Melihat itu, Gendis ikut tersenyum bahagia.
Saat sedang asyik melamun, gadis itu dipanggil Yu Sarti dari arah belakang untuk membantunya membawa tumpukan piring bersih yang baru dicuci. "Ndhuk, ini piringnya tolong dibawakan ke depan, ya?"
"Inggih, Budhe." Gendhis lalu melangkahkan kakinya ke arah Yu Sarti. Saat melihat tumpukan piring yang menggunung, diam-diam Gendhis mengembuskan napas berat. Piringnya banyak sekali. Berhubung Budhe Pinah memang punya banyak kenalan, jadi tamu yang diundang juga banyak.
Gendhis hanya mengambil tujuh piring untuk sekali jalan. Gadis itu tidak berani mengambil banyak-banyak karena takut memecahkannya.
"Sini kubantu."
Di tengah perjalanan, Ragil datang menghampirinya yang berjalan pelan dan hati hati. Piring di tangan Gendhis sudah berpindah ke tangan laki-laki itu. Keduanya hanya tersenyum canggung lalu melanjutkan pekerjaan dalam diam.
"Terima kasih," ucap Gendhis lirih. Kedua matanya bergerak ke sana-kemari mencari keberadaan seseorang. Gadis itu berdecak kesal karena Jun lama sekali pergi ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis
RomanceSebagai seseorang yang dilabeli anak sukerta oleh budhenya, Gendhis mempercayai bahwa kelahirannya merupakan sebuah kesialan. Setidaknya sampai ia berumur lima belas tahun. Sampai dia tahu caranya kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru.