Chapter - 4. Her Family

231 30 6
                                    

HAPPY READING 📖

-----------------------------------------

Pulang dari kantor, ia segera pergi ke pusat pembelanjaan untuk membeli beberapa kosmetik. Setidaknya, harus ada yang bertabur di wajahnya besok. Menuju ke toko softlens, ia memilih sesuai warna matanya. Sial, sejujurnya ia tidak suka bergaya semacam ini. Tapi, ia bertekad akan mengubah tampilannya. Ucapan Richard teramat menyinggung hingga ia ingin menunjukkan kalau ia bisa menjadi seperti yang orang lain inginkan!

Dipilih beberapa lip gloss, lipstick, liptint, dan berbagai riasan lain yang menggoda. Ternyata seseru ini berbelanja. Pantas saja para wanita lebih menghabiskan uang untuk benda-benda ini daripada mengenyangkan perut.

Merasa tak membutuhkan banyak riasan, ia ke kasir kemudian membayarnya dan segera pulang. Apalagi ibu dan ayahnya ingin mengajak makan malam bersama.

***

"Hai, Mom, Dad," sapa Andrea saat dilihat ibunya tengah memasak di dapur bersama sang ayah. Di usia yang tak lagi muda, ia beruntung melihat mereka tetap akur. Bahkan ayahnya memeluk ibunya dari belakang seperti anak muda. Berkali-kali ia berharap bisa mendapatkan ayah seperti Rizzo Walcott. Walaupun tegas kepada mereka, ia dan adik laki-lakinya—Chandra Walcott—ayahnya bisa mengimbangkan sisi lembutnya. Apalagi kepada Kimberly Walcott, sosok pujaan hati sang ayah. Tak perlu dijabarkan bagaimana senangnya ia hidup di keluarga seperti ini.

Keduanya berbalik dan memberikan senyum.

"Hai, Sweety. Bagaimana harimu?" tanya Kim sembari berbalik lagi, mengaduk masakannya. "Babe, tolong ambilkan merica," perintahnya pada Rizzo.

"Biasa saja." Andrea mendekat dan memberikan kecup di pipi mereka. "Chandra sudah pulang?"

"Belum. Dia sibuk latihan lacrosse. Katanya ada pertandingan bulan depan," jawab Kim lalu mengedipkan mata pada Rizzo sebagai ucapan terima kasih.

"Ck, padahal aku ingin meninjunya untuk bertanding siapa yang menang."

"Rea, jangan macam-macam," peringat Kim dengan wajah tak sedap. Rizzo terkikik geli lalu mendekati Andrea dan membawanya ke pelukan.

"Ayo, bertanding dengan Daddy."

"NO! Aku bisa mati di tanganmu, Dad! Apalagi Papa yang menghajarku. Tak terbayangkan bagaimana tulangku rontok semua." Rizzo tertawa keras lalu mengacak rambut Andrea gemas. Tiba-tiba kepalanya menggeleng.

"Kau membicarakanku?"

Andrea memutar bola mata. "No, Papa. Jangan sensian. Mommy akan menghukummu kalau kau sensian. Ingat, cintanya pada Daddy akan semakin besar kalau kau bertingkah." Ia menaik-turunkan alis, menggoda Richi yang kini menarik napas panjang.

"Dasar anak durhaka. Sini peluk Papa. Kau semakin nakal, Rea." Andrea terkikik lalu menghambur ke pelukan Richi. Ia baru menyadari ayahnya memiliki kepribadian sejak berusia 12 tahun. Selama ini ia pikir ayahnya ingin dipanggil Tata, Papa, dan Daddy, tanpa menyadari apa-apa. Jujur, ia kaget karena mendapati suara, sikap, dan ekspresi ayahnya berbeda. Mungkin ketika ia berumur delapan sampai sembilan tahun, masih tak ada keanehan. Sayangnya, semakin dewasa ia semakin paham ada yang terjadi dengan ayahnya. Bahkan bisa saja di menit pertama aura yang dikeluarkan itu hangat, tiba-tiba menjadi agak mencekam. Ia sempat bertanya pada Kim, namun semulanya Kim tak ingin menjawab. Mengikuti insting yang tahu ada hal tak beres, ia langsung mengutarakan kebingungannya pada Rizzo karena ia memang ingin tahu. Mendapat penjelasan bahwa ayahnya memiliki kepribadian ganda, tentu ia terkejut. Semula ia menjaga jarak karena takut, tapi lama-kelamaan ia mulai terbiasa, apalagi beberapa kali ayahnya bersikap lebih hangat dan tak menimbulkan sesuatu yang mengerikan. Usia yang kini menginjak 25 tahun, telah mengenal baik Daddy, Papa, dan Tata. Terkadang ia mencurahkan isi hati pada Tata karena Tata lebih lembut. Saat ia tengah kesal, Papa pasti datang membawanya ke tempat tinju untuk meluapkan kekesalan. Daddy pula lebih sering menggoda ibunya. Tak diherankan lagi betapa lengket Daddy dengan Mommy.

Hal yang paling ia ingat saat Chandra mengetahui ayah mereka memiliki kepribadian lain, adiknya itu lari terbirit-birit dan tak ingin berkomunikasi dengan ayah mereka karena ngeri. Apalagi ia dan adiknya berjarak delapan tahun dan agak sulit untuk meyakinkan pemikiran skeptisnya. Chandra masih mengira kalau itu hanya omong kosong. Masih teringat jelas saat menatap ayah mereka, Chandra agak takut-takut. Apalagi saat mendengar cerita ibunya tentang masa-masa lalu mereka. Itu juga sebabnya Chandra tak berani bertingkah dan lebih sering bersama Kim dibanding Rizzo. Lain hal dengannya, ia pula lebih suka menghabiskan waktu bersama Rizzo. Ia merasa jiwanya sama seperti Rizzo, suka tantangan dan kuat!

"Seru kerja di sana?" tanya Richi, masih memeluk Andrea. Ia kesal Rizzo lebih sering mengambil alih. Ingin sesekali ia menekan Rizzo agar tertidur sampai sebulan, namun tak bisa. Kim akan marah dan ia tak mau membuat istrinya semarah itu.

"Biasa saja. Banyak naskah yang perlu kuedit, dan ... percayalah, itu melelahkan. Mataku mendadak sakit."

"Resign dari sana, Rea. Itu akan membuat kesehatanmu memburuk." Sifat protektifnya muncul. Mendengar hal semacam itu, ia agak waspada. "Papa akan memasukkanmu ke Wall's Technologies. Kau akan kerja enak di sana daripada harus sakit-sakitan di penerbit itu."

"Jangan, Papa. Aku suka kerja di sana. Di perusahaanmu, aku merasa tak nyambung." Andrea menggeleng dengan wajah masam. Ia memang kurang menyukai di bidang software milik mereka. Sejak berteman dengan teman satu sekolahnya dan tahu ibunya seorang penulis besar, ia ingin mengikuti jejak Zoe Christopher. Alhasil, ia melamar di sana sebagai editor dan berharap jabatannya segera dinaikkan.

"Tapi kau bilang matamu sakit."

"Itu sudah biasa untuk editor sepertiku. Aku juga memakai kacamata anti radiasi. Memang mataku sakit, tapi karena lelah. Trust me, Papa. I'm fine."

Richi berdecak lalu mengapit Andrea erat. Ia menyayangi putrinya ini, entah mengapa ia sangat-sangat mencintainya daripada Chandra. Rasa sayangnya lebih besar. Walaupun keras kepala, tapi Andrea masih ingin mendengar perintah, sedangkan Chandra agak sulit untuk dikendalikan dan ia agak muak. Sering kali Remie atau Rizzo yang mengatur Chandra karena kalau ia yang turun tangan, bisa saja Chandra menjadi sasaran empuk untuk dipukul.

"Terserahmu," balas Richi seadanya.

"Don't be mad, okay?" Richi berdehem lalu melepaskan apitannya, lebih memilih ke tempat Kim dan langsung memeluk Kim dari belakang.

"Rich!" tegur Kim, agak terkejut dengan reaksi suaminya.

"Hubungi Chandra dan bersiap untuk makan malam," kata Richi sembari membalikkan badan ke Andrea tanpa melepas pelukannya. Ia tersenyum tipis lalu kembali ke arah semula.

"Okay, Papa!" seru Andrea. Ia tersenyum hangat, melihat mereka seperti ini, ia benar-benar menginginkan kehidupan pernikahan seperti mereka. Apalagi kisah cinta yang menurutnya agak menyedihkan sekaligus menyenangkan. Ibunya beruntung. Ia akui itu. Dicintai tiga jiwa, sedangkan satu jiwa saja belum tentu setia. Ia menggeleng, mengenyahkan pemikiran itu lalu berbalik, meninggalkan mereka yang masih dimabuk cinta.

.

.

.

TO BE CONTINUE

Unexpected Destiny ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang