Chapter - 2. His Rival

439 32 13
                                    

HAPPY READING 📖

-------------------------------------------------

Berjalan dengan langkah gontai, Andrea melirik sekilas seseorang yang tengah memesan makanan. Kantin, tempat ia untuk makan. Cacing-cacing di perutnya sudah meronta-ronta minta makanan-makanan yang menggugah selera, dan ia juga tak mau menunggu. Sudah terlewat 10 menit dari jam makannya karena sibuk dengan editing naskah novel yang akhirnya selesai. Kalau tidak mengingat hari ini akan diberi ke proof reader, mungkin ia lebih santai.

Gadis berambut cokelat itu membalikkan badan, mencari tempat duduk. Ia berencana untuk pura-pura berkenalan dan sedikit bercakap-cakap hari ini. Sudah cukup ia menjadi penguntit. Sudah cukup! Ia tak mau lagi berlagak sialan dengan berpura-pura pada perasaannya. Ia mengambil beberapa makanan sembari melirik sebentar keberadaan Matthew. Pupil matanya melebar. Sial! Keadaannya tidak sama seperti kemarin-kemarin. Jika kemarin Matthew duduk sendirian, sekarang pria itu bergabung dengan beberapa orang yang jelas Richard juga berada di sana.

"Shit!" umpatnya pelan. Sepelan mungkin walaupun ia ingin melempar makanan yang berada di tangannya.

Demi Tuhan, apa ia tak berjodoh dengan Matthew? Kenapa ada saja halangan untuk menyatukannya? Apakah mereka memang tidak bisa disatukan? Atau, inikah halangan yang harus dihadapi saat berhadapan dengan cinta? Argh, kenyataan-kenyataan itu membuatnya pusing sendiri.

Ia menggelengkan kepala. Melenyapkan beberapa argumen yang berperang agar tidak memunculkan pemikiran-pemikiran kacau lainnya.

Mencari tempat duduk, ia sengaja melewati meja mereka untuk melihat Matthew sekilas. Posisi duduknya sangat memungkin agar ketika ia melihat Matthew, tak ada satupun yang curiga.

Melintasi tempat duduk mereka, ia melirik sekilas Matthew yang tampak fokus mendengar cengkrama teman-temannya. Wajahnya tampak tenang. Setenang air dan wajah manisnya semanis gula.

Ingin sekali ia menyosor ke tempat mereka dan duduk di samping Matthew. Sialannya, ia sama sekali tak seberani itu. Jika saja, ia agak brutal, mungkin ada presentase 69 persen daripada sekarang yang hanya memiliki presentase keberanian sebanyak 0 persen. Semua itu tampak sulit dan ia merutuk karena tak memiliki keberanian itu.

Hampir mengalihkan pandangan, suara siulan mengerutkan dahinya.

"Sst, baby!" Ia berhenti tepat di samping Glenmore, pria bernetra belang-belang yang sedang duduk. Ehm, maksudnya mata kirinya bernetra hijau, mata kanannya bernetra cokelat. Heterochromia Iridum, kelainan pada mata yang menyebabkan perbedaan warna. Langka? Tentu saja. Dan Glenmore Jaqez memilikinya.

Ia mengerjapkan mata. Ah, ini hanya perasaannya mungkin. Ia tidak dipanggil. Tapi, ada orang lain yang dipanggil sehingga ia merasa bahwa ialah yang dipanggil.

"Baby Rea!" Bisikan itu kembali menghentikan gerakannya yang hampir melangkah. Ia mengerutkan dahi semakin dalam dan matanya melirik ke meja grup Matthew.

Akhirnya, tampaklah wajah iseng yang ingin ia tinju karena mengerjainya.

"Hai, duduk di sini bersamaku. Kau merindukanku, kan?" Richard mengedipkan sebelah mata. Ia baru menyadari Richard duduk berhadapan dengan Matthew. Tiba-tiba pikiran buruk datang. Apa Richard tahu ia melirik Matthew?

"Apa sih, kau! Gila sekali anak ini!"

"Jangan mengataiku gila, Nona. Begini-begini, kau suka, kan?" Teman-teman sedivisi Richard tertawa. Bahkan Matthew juga! Shit, sudah ia ikrarkan ia benci pria satu ini.

"Diam sajalah kau! Sumpah, omongan yang keluar dari mulutmu tak berguna semua!" Ia mendelik kesal dan menghentakkan kaki, pergi dari kerumunan mereka. Karena Richard, ia seakan hilang muka berhadapan dengan Matthew. Ia malu. Kalau bisa, ia ingin menghilang dari muka bumi ini tanpa jejak agar Richard tidak lagi banyak omong. Apalagi sampai mengganggunya seperti tadi.

Ia duduk di tempat duduk kosong dan mulai memakan makanan yang ia ambil dari stan makanan. Kalau sudah begini, mood-nya hilang. Malah ia sudah tidak berselera lagi. Ini semua ulah Richard. Si curut itu berhasil membuatnya kesal sekaligus malu.

Richard pula terkikik kecil. Ia mengamati kekesalan Andrea sejak gadis itu menghentakkan kaki. Oh, betapa menggemaskannya Andrea. Ingin ia duduk di sana, tapi tak enak dengan teman-temannya karena ia yang mengajak mereka untuk duduk bersama dan mentraktir mereka.

Sembari memakan makanannya, ia mengamati Andrea terus-menerus seakan matanya tak bisa dialihkan pada sosok itu.

"Kau menyukainya, Rich?" Ia menghentikan aktivitasnya yang menyuapkan makanan ke mulut, lalu menoleh pada Glen yang cengar-cengir di samping Matthew.

"Tidak. Sangat menyenangkan mengganggunya," balasnya singkat.

"Kalau kau menyukainya, katakan saja. Daripada terlambat kemudian menyesal, lebih baik kau utarakan rasa sukamu. Bisa saja dia juga menyukaimu." Perkataan Justin membuat senyuman tertarik di bibirnya. Ia alihkan pandangannya pada Matthew yang sibuk memakan makanannya. Pura-pura acuh. Padahal ia tahu, Matthew pasti mendengar.

"Aku tidak menyukainya. Lagi pula dia jelek. Bukan tipeku. Hahaha!' Ia tertawa renyah sembari menunggu ekspresi Matthew yang mungkin melihatnya dengan tatapan tak percaya. Nyatanya, yang ia dapat malah respon biasa. Matthew tak terpengaruh dengan ucapannya sama sekali.

Jujur, ia muak dengan sikap sok polos Matthew. Pria ini berani sekali menyukai Andrea dan ia benci kenyataan bahwa ia memiliki saingan lebih.

Bagaimana ia bisa tahu?

Itu perkara mudah!

Saat di lobi, ia menangkap Matthew tengah memotret Andrea dengan kameranya. Hampir ia lepas kendali untuk membanting kamera itu agar pecah dan hancur. Sayangnya tak ia lakukan. Beberapa kali juga ia memergoki Matthew melirik Andrea. Di ruangan divisinya, ia sempat melihat Matthew ingin mengirim pesan pada Andrea dan ia tidak bodoh menangkap sinyal-sinyal semacam itu. Ia seorang pria dan pasti ia tahu bagaimana gelagat dan pikiran sejenisnya.

"Menurutmu bagaimana, Matt? Apa Andrea cantik?" tanyanya. Ia menyorot Matthew dengan tatapan tajam lalu ketika Matthew mendongak, ia memberikan senyum jenaka.

Matthew sempat berpikir kemudian mengangguk. "Ya. Dia cantik."

Sial! Ia ingin memecahkan mulut Matthew! Feeling-nya benar beranggapan kalau Matthew menyukai Andrea. Bajingan ini memang minta ditinju! Berani sekali menyukai Andrea tanpa seizinnya.

"Nice. Tapi menurutku dia jelek."

"No, she is pretty, Rich." Kali ini senyuman Matthew malah semakin menyulut emosi. Ia muak pada sikap pura-pura Matthew. Jijik sekali ia harus berhadapan dengan manusia satu ini.

"Kau menyukainya?" Sempat ia lihat Matthew menegang. Sayangnya, ia tidak mendapat pengakuan. Melainkan kebohongan. Matthew malah menggeleng.

Munafik! pikirnya kesal.

Sebagai respon. Ia mengedikkan bahu walau ia tidak sabar melayangkan piring ini ke wajah Matthew dan mengatakan jangan pernah mengambil miliknya.

Tugasnya bertambah. Ia harus menjauhkan Matthew dari Andrea. Jangan sampai Andrea juga kepincut pada manusia satu ini kecuali dirinya, tentu saja.

Tips kecil darinya, jangan biarkan saingan mendapat celah walau sekecil titik hitam. Karena kalau lengah, kau akan kalah.

.

.

.

TO BE CONTINUE

Unexpected Destiny ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang