Chapter - 35. Perfectly Fine

85 10 3
                                    

HAPPY READING 📖

-------------------------------------------

"Kau sudah sembuh, Rich?" tanya Glen saat dengan enteng Richard membawa sekotak bekal kemudian mendaratkan bokongnya di kursi.

"Kalau aku belum sembuh, tidak mungkin aku mau duduk di sini," balas Richard sembari memicing karena pertanyaan itu begitu aneh untuk didengar.

"Kok, cepat sekali."

"Aku hanya sakit biasa. Bukan sakit keras. Kau pikir fungsinya minum obat apa?"

Paul menyela cepat—memotong Glen yang hendak bicara. "Kau pun gila. Seharusnya kau senang kalau dia sembuh. Bukan malah bertanya-tanya."

"Aku kaget. Biasanya harus dua sampi tiga hari. Ini malah sepertinya setengah hari saja sudah sembuh," kata Glen sembari menaikkan alis. Tatapannya tak sengaja tertuju pada Andrea yang tengah mencari tempat duduk.

Di jam istirahat begini, memang lebih banyak yang makan di kantin perusahaan daripada makan di restoran. Selain murah, mereka juga bisa berkumpul tanpa harus mengeluarkan biaya bensin lagi. Karena itulah, banyak sekali tempat duduk yang digunakan. Vibes-nya terasa seperti di sekolahan, tapi bedanya ini dipenuhi oleh pekerja.

"Andrea!" teriaknya dari jauh sembari berdiri dan melambaikan tangan. Mata mereka langsung tertuju pada Glen, termasuk semua  mata yang berada di kantin. Suara kencangnya bahkan sudah terdengar sampai ke telinga Andrea dalam sekali panggil.

Andrea menyadari itu, ia menunduk sedikit untuk menutupi rasa malu karena teriakan Glen. Kakinya melangkah ke sana karena tahu Glen mengajaknya untuk makan bersama. Mungkin pria itu juga melihat jika ia belum menemukan tempat duduk.

"Hai," sapanya setelah berada di depan mereka. Ia terbelalak karena ada Richard di situ. Bukankah Richard sakit? Kenapa sudah ada di sini?

"Kau sudah sembuh, Rich?" tanyanya bersahabat sembari mengambil tempat duduk di sebelah Paul.

Richard membalas dengan deheman. Entah kenapa Glen harus memanggil Andrea ke sini. Jika bukan karena perutnya yang melolong kelaparan dan minta secuil makanan, ia pasti tidak mau duduk di sini dan memilih tetap di ruang kerja. Tapi, bekal yang ia bawa adalah pemberian Amber yang sengaja dibuat agar ia semakin sembuh. Gadis itu memang manis sekali. Padahal ia sama sekali tidak minta dan tubuhnya juga sudah sepenuhnya sehat. Di sini pun tidak ada Amber karena Amber memilih berada di ruang kerja. Kalau ada Amber di sini, ia pasti lebih memilih duduk berdua bersama Amber, daripada yang begini. Ramai, tapi ada Andrea.

Andrea menyunggingkan senyum tipis mendengar jawaban itu. Sepertinya memang Richard ingin menjauh dengan alasan yang sama sekali masih tidak ia ketahui. Ia ingin sekali membincangkan ini dengan Richard, bertanya apa masalahnya agar mereka tidak berjauhan. Tapi, ia bisa apa? Ia yakin, Amber lebih banyak mengambil alih otak Richard dan berkata hal yang buruk tentangnya.

"Rich, kau di sini ternyata."

Baru saja sosoknya dipikirkan Andrea, kini orangnya sudah berdiri di sisi meja sembari membawa kotak bekal yang sama dengan Richard. Ia mengalihkan pandangan kemudian makan tanpa berniat meladeni gadis itu. Biarkan mereka saja yang buka mulut daripada ia harus merelakan nafsu makanannya yang bisa saja merendah atau bahkan mati.

"Hei, duduklah di sini." Mendengar betapa antusias Richard mengajak Amber, ia jadi iri karena ia tidak diperlakukan dengan perlakuan yang sama.

Amber duduk di sebelah Richard dan itu berhadapan dengannya. Sekali saja ia mendongak, nafsu makannya akan mati. Belum lagi mendengar suara manja Amber, rasanya ia ingin kabur daripada harus menyiksa diri. Tentu saja. Bersama Amber sudah menjadi siksaan untuknya. Sayangnya, ia tidak akan bisa terus menunduk untuk menghindari wajah manis Amber. Akhirnya, kepala ini terdongak dengan sendirinya. Melihat mereka, ia meneguk ludah. Sakit. Rasanya sakit sekali.

Unexpected Destiny ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang