Chapter - 41. We Know

89 10 1
                                    

HAPPY READING 📖

-----------------------------------------

Elisa tidak tahu harus melakukan apa saat di depan matanya, perempuan yang biasanya terlihat tegar, kuat, dan pemberani, bisa serapuh tulang yang keropos. Bahkan lebih parah. Tidak pernah terbesit di pikiran jika Andrea begitu terluka hanya dari kata-kata itu. Ia pikir sebelumnya, Andrea tidak akan peduli. Ia juga tidak menduga Andrea telah memiliki rasa yang sama dengan Richard.

Tapi, ia lebih tidak menduga jika semesta begitu lucu mempermainkan mereka dengan memporak-porandakan perasaan.

"It's okay, Rea. Kau tidak perlu mendengarnya. Dia hanya terbawa emosi. Dia itu takut, hanya saja terbawa ego." Elisa menenangkan dengan kemampuan yang ia miliki. Ia tidak terlalu mampu untuk membujuk.

Andrea tak menggubris. Ia tetap terisak-isak dengan punggung yang menghadap Elisa alias membelakanginya. Ia sudah tidak punya muka untuk menghadapi mereka. Ia sudah tidak punya muka untuk menatap, meskipun sedetik saja. Ia sama sekali tidak bisa sekuat itu untuk tetap mendongakkan kepala.

Elisa menghela napas. Menampar Richard rasanya masih kurang. Ia ingin membuat pria itu semakin babak belur. Kalau bisa sampai kesulitan untuk bernapas. Richard menjelma menjadi sosok arogan yang bahkan sama sekali tidak cocok dengan tabiatnya, tapi pria itu masih sok.

Sial! Kekesalannya sama sekali belum bisa hilang sebelum ia benar-benar melayangkan bogem terkuat agar hidung itu berdarah. Jika tidak ada luka, ia sama sekali tidak puas.

"Kau sudah minum obat, Rea?" Elisa tahu pertanyaannya tidak akan mendapat respons. Pembicaraan apa pun yang ia lakukan sama sekali tidak akan mendapat respons karena Andrea sibuk dengan tangisnya. Ia mengerti, jika perempuan kuat sudah menangis terisak begini, pasti luka yang ditorehkan amat dalam. Ia mengerti, tapi ia tidak tega. Ia tidak sanggup mendengar isakan perih yang terus-menerus mengaung.

Andrea mengabaikan apa pun yang terdengar. Ralat, tidak ada lagi yang bisa ia dengar selain isak tangisnya. Tidak ada lagi yang bisa ia dengar selain pikirannya yang berkata-kata, membela diri, dan marah.

***

Sepertinya hari ini memang memberikan banyak kejutan. Andrea berdiri terpaku saat melihat jelas mobil ayahnya di parkiran. Bahkan ayahnya sudah keluar dari sana sembari melambai.

Akhirnya, ia teringat jika tadi pagi ayahnya mengatakan akan menjemputnya. Sialan. Semua ini membuat ia lupa dan kehilangan kesadaran. Ia kelepasan banyak menangis yang menyebabkan matanya membengkak seperti ditonjok. Sekarang, Daddy pasti akan tahu ia menangis dan punya masalah di kantor. Ia memang ingin mengatakan masalahnya, tapi bukan seperti ini. Ia takut kemarahan Daddy akan membesar dan malah membuat kekacauan di sini. Semua ini salahnya. Ia kehilangan kendali dan lupa. Ia lupa semuanya. Karena Richard juga, ia kehilangan kontrol terhadap dirinya.

Ia melangkah perlahan ke parkiran. Seiring berjalan mendekat, degup jantung bermain tak terkira. Namun, semua itu akhirnya terkuak saat ia sudah berada di hadapan ayahnya sedetik saja.

"Kau menangis, Rea?"

Andrea tak menjawab dan memilih untuk masuk ke mobil. Ia tidak mau membicarakan ini di luar. Ia tidak mau semua orang menatapnya dan ia kembali menjadi pusat perhatian dan pikiran. Ia tidak akan sekuat itu menahan banyak beban di pundak. Ia tidak mau harga dirinya kembali jatuh. Maka, ia mengabaikan pertanyaan itu dan memilih membicarakannya di dalam.

Rizzo semakin curiga. Ia ikut masuk ke mobil untuk memastikan.

"Kau kenapa, Rea? Ada masalah di kantor, Sayang?" Tatapan khawatir itu terlihat dan Andrea tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia tidak akan bisa terus bertahan jika ia  mendengar jelas kekhawatiran yang terpancar juga dari suara ayahnya.

Unexpected Destiny ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang