Chapter - 24. The True Feelings

127 19 4
                                    

HAPPY READING 📖

------------------------------------------

Richard dan Amber berlarian ke arah pantai setelah turun dari mobil. Sudah tak terelakkan lagi bagi siapa pun yang melihat, mereka seperti sepasang kekasih. Lihat saja mereka berlarian sembari bergenggaman dan tertawa ke bibir pantai seperti Teletubbies.

Andrea yang sudah turun dengan tas ransel, mengeratkan cardigannya, mengalihkan tatapan ke arah lain karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pemandangan itu. Ia menipiskan bibir, sesekali matanya mencari tempat yang bisa ia tempati. Namun, ia terperangah saat melihat senyum Richard teramat lebar, membuat sosok itu sangat-sangat berbeda. Apalagi kaos merah tanpa lengan, menampilkan lengan berotot yang tak terlalu berlebihan, menonjolkan kesan seksi. Bahkan sempat-sempatnya ia meneguk ludah dan berpikir bagaimana jika ia dihangatkan dengan dekapan itu. Ia menjilat bibirnya yang mendadak kering lalu duduk di kursi kayu bersama teman-teman sedivisinya.

Kedatangan Amber dengan kondisi ngos-ngosan membuat Andrea seketika terperanjat. Bukan, bukan karena Amber. Melainkan Richard juga ke arah mereka dengan sling bag yang menggantungi pundak.

"Nah." Melihat Richard menyodorkan susu kotak vanila, mengingatkan Andrea saat Richard masih mengejarnya. Pria itu suka sekali memberinya susu kotak. Namun, kali ini bukan untuknya, melainkan untuk Amber. "Aku sengaja membelinya untukmu. Kau harus bertumbuh."

Teman-teman sedivisinya tertawa, tidak dengan Andrea. Ia masih diam dengan raut datar dan mengalihkan perhatian pada sekitar. Tidak ke mereka berdua karena ia benar-benar tak nyaman.

"Mana ikat rambutmu? Sini kuikat rambutmu cantikmu!" Andrea tiba-tiba menoleh, merasa terpanggil karena teringat Richard sering mengatakan hal yang saat ia menggerai rambut.

Amber menggembungkan pipi, memberikan ikat rambutnya ke Richard.

"Good girl," puji Richard kemudian berdiri di belakang Amber, menyentuh rambutnya dan mengumpulkan helai demi helai untuk diikat satu. Jemari kekarnya dengan lincah bermain di kepala Amber.

Melihat betapa lihai jari-jari itu bekerja, Andrea kembali terpesona. Tanpa sadar, ia menatap lama kegiatan itu. Harus ia akui kali ini Richard terlihat seksi, tampan berkali-kali lipat, dan segar. Rambut yang sengaja tak disisir rapi, bulu mata yang begitu tebal saat kelopak mata itu ke bawah, bibir bawah yang amat tebal dan terbelah di tengah dengan kemerahan yang mencolok, sekaligus jambang yang sudah dicukur halus seperti remaja.

Andrea berdehem pelan, kemudian mengalihkan tatapan ke pohon-pohon, ke langit, dan ke mana pun asal bukan dua orang yang di depannya ini.

"Ayo, kita persiapkan api unggun! Lumayan malam-malam duduk ditemani angin pantai!" seru Elisa sembari berdiri. Semua perhatian teralihkan pada gadis itu, termasuk para pria yang awalnya bercerita.

Andrea terkekeh geli kemudian berdiri. Ia yang semula membalikkan badan, malah menoleh saat mendengar jeritan. Beberapa detik kemudian, ia memutar bola mata dan langsung pergi. Itu jeritan Amber yang digendong oleh Richard dari belakang.

Dalam hati, ia berdecih, "Alay."

***

Sore hari, ia duduk sendirian di bibir pantai. membiarkan kakinya dibahasi air. Ternyata menyenangkan sendirian sembari melihat matahari terbenam, sekaligus menikmati udara segar yang mengibasi rambutnya. Seharusnya ia melakukan ini dari dulu dan tak sibuk dengan pekerjaan. Meskipun semuanya tampak sederhana, namun dampaknya begitu hebat untuk kesegaran mental dan pikiran.

Ia merasakan tepukan di bahunya. Saat ia menoleh, ternyata Elisa. Ia memberikan senyum, menyambut Elisa yang kini duduk di sampingnya.

"Sendirian?" Andrea tertawa kecil. Itu basa-basi macam apa? Sudah jelas ia sendirian, kan?

Unexpected Destiny ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang