Chapter - 56. Lovely Man

103 8 2
                                    

HAPPY READING 📖

----------------------------------------------

"Pokoknya masalah perkuliahan ini adalah masalah paling alay. Yang seharusnya tidak besar begini, malah harus besar. Sabar saja menunggu sampai lulus dengan kealayan semua ini." Elisa menyeruput jus dengan emosi yang tidak separah tadi. Kini ia sudah tenang dan menikmati makan siangnya bersama teman-teman yang sebelumnya tidak terlalu dekat, sekarang malah menjadi lingkaran pertemanan untuk mengenal.

"Jangan marah-marah, Elisa. Kau lihat keriput di matamu itu semakin dalam. Kau tidak takut terlihat semakin tua?" Ejekan Paul langsung didamprat cubitan keras. 

"Sekali lagi kau menghinaku, ini hadiahmu." Elisa mengacungkan tinju di depan wajah meringis Paul. Lelaki itu mengelus permukaan kulit yang terasa nyeri dengan gerakan cepat, berupaya menghilangkan virus pedih ini dari tubuhnya.

"Sakit, Lis! Kau pikir tubuhku permen karet yang bisa dicubit seenaknya!" protes Paul, tak terima menjadi sasaran amukan. Padahal ia hanya mengingatkan dan itu adalah niat yang baik.

"Masa bodoh. Siapa suruh meledekku? Kau pikir aku mudah diledek, huh? Kau berurusan dengan orang yang salah."

Paul mendelik dengan mulut berdecak. "Terserahmulah, Perempuan tua."

Mendapat pelototan Elisa, Paul tertawa geli.

Lain hal pula dengan dua manusia yang saling mencuri pandang ini, siapa pun menyadari ada benang merah yang akan terhubung kembali untuk memunculkan bibit-bibit cinta.

Elisa, Paul, Glen, tiga orang yang mulai merasakan degup-degup yang bahkan tidak disadari oleh Andrea dan Richard, si pemilik degupan. Ketiganya tersenyum dan tertawa dalam keheningan.

"Ehem. Kurasa ada yang jatuh cinta di sini." Paul agak menunduk sedikti dengan deheman untuk menyadarkan dua manusia yang diam-diam malu. Lucu sekali melihat mereka yang seperti ini. Padahal sebelumnya seperti kucing dan tikus yangg akan bertengkar jika dipertemukan.

Richard dan Andrea menoleh bersamaan kemudian saling tatapan itu bertabrakan, membuat keduanya langsung menunduk malu.

Elisa, Glen, dan Paul langsung tertawa terbahak-bahak hingga suara itu menggema sampai ke seluruh ruangan kantin, memunculkan pandangan tanya dari beberapa orang.

***

"Tumben sekali kau ke sini?" Andrea menepuk lengan Christian sembari berjalan bersama ke tujuan yang sama di lift yang hendak ia naiki. 

"Biasa. Kerjaan dari ibu tersayang."

Andrea tertawa karena sebutan itu seperti ledekan Christian untuk ibunya. Memang sejak awal perusahaan ini didirikan, Christian yang lebih sering bertanggung jawab ke perusahaan, sementara ibu dan ayahnya hanya memantau dari rumah. Adik Christian tidak begitu tertarik dengan kehidupan bisnis, sama seperti Chandra. Jadi tidak heran mereka bisa cocok.

Bukan ia tidak tahu juga

"Jadi bagaimana hubunganmu dengan si curut itu?" tanya Christian sembari menaikkan alis. Keduanya berjalan beriringan di sepanjang lorong untuk memasuki ruang rapat.

"Biasa saja," balas Andrea, tak terlalu ingin menunjukkan hal yang memang tidak berkembang. Mereka seperti orang asing yang berkomunikasi seadanya.

"Kalau kau suka, bilang padanya sebelum terlambat."

Andrea mengedikkan bahu. Ia tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan karena situasi aneh mereka ini. Ia tidak bisa mengatakan mereka berjauhan, tapi ia merasa mereka kini tidak serenggang dulu. Ia juga tidak bisa mengatakan mereka dekat, karena mereka masih seperti orang lain pada umumya. Jadi, ya ... begitulah. Memutuskan untuk bergerak ke mana saja terasa salah.

"Rumit." Itu adalah balasan yang mewakili perasaan bak benang kusut ini. 

Christian hanya memberikan tawa beserta gelengan. Hubungan mereka sebenarnya tidak terlalu rumit jika salah satunya berani untuk mengutarakan. Tapi mereka lebih memilih diam dan menunggu. Entah apa yang ditunggu, ia pun tidak mengerti.

Pintu ruangan untuk rapat terbuka, menampilkan sosok Christian dengan kemeja biru dengan kancing atas yang dilepas untuk mencegah lehernya tercekik. Celana kain hitamnya menambah kesan maskulin dari anak Zoe dan Jay itu. Ia duduk di bagian sudut meja, memberikan senyum agar terkesan ramah.

Rapat ini bukanlah rapat yang begitu formal hingga seluruh deru napas tidak boleh terdengar. Ini hanya rapat biasa mengenai perancangan dan perencanaan buku yang akan terbit. Setiap buku yang akan terbit, seluruh divisi yang menangani buku tersebut akan dikumpulkan untuk membahas mengenai promosi, desain, dan perencanaan lain agar efektivitas peluncuran buku tersebut dapat berjalan dengan baik. Tak heran, minimal sebulan tiga kali, Christian akan mampir ke kantor hanya untuk melihat progres buku yang dikerjakan.

Richard melayangkan senyum untuk menutupi kekesalan. Ia kembali merasa kalah saing. Senyum Andrea yang begitu cerah sembari mengobrol dengan Christian, memunculkan egonya kembali. Ia ingin mendekat, tapi merasa tak pantas. Ingin abai, tapi hati ini tak tahan.

Memang Christian adalah temannya, teman dekat malah. Tapi ia tetap tidak rela dan ikhlas jika harus Christian yang menjadi malaikat untuk Andrea. Dulu saat Matthew mendekati Andrea saja ia sudah kalang kabut. Apalagi ini.

Andrea duduk berhadapan dengan Richard dan hampir bersebelahan dengan Christian. Ia menatap layar yang mulai menampilkan video peluncuran. Biasanya, Christian akan mengomentari beberapa hal yang kurang dari video tersebut untuk dievaluasi.

Lain hal dengan Andrea yang fokus, berbanding terbalik dengan Richard. Bagaikan disengat lebah, tak henti-henti mata lelaki itu memandang Andrea, meyakinkan diri jika ia memang tidak akan pernah bisa membenci Andrea. Meyakinkan diri jika ia masih mencintai Andrea sebesar dulu. Sebesar yang bahkan tidak ia tahu akan seperti apa. Hatinya untuk Andrea telah tertancap sempurna hingga bercampur dengan darah. Ia benar-benar mencintai perempuan ini, dulu, maupun sekarang.

Tak peduli bagaimana mulut tajam itu mencacinya, tak peduli bagaimana mata itu selalu sinis melihatnya. Ia tak peduli. Cinta ini sudah mendarah daging hingga pusat dunianya hanya Andrea.

Lupakan semua materi rapat. Di kepalanya sekarang hanya Andrea seorang.

Tentu saja, ada sepasang mata pula yang sedari tadi melihat.

Christian Gould, lelaki tampan itu menahan tawa. Dapat ia lihat pemujaan dari mata lugu khas seorang Richard Bell kepada gadis pujaan. Hanya saja, ia tidak pernah menduga jika mereka harus serenggang sekarang.

Namun, ia tahu ke depannya mereka akan diberi jalan yang mulus untuk memulai sebuah kisah baru. Karena ia senang jika Richard mendapatkan tambatan hati. Ia tahu persis kehidupan lelaki itu yang berbanding terbalik dengannya. Ia dalam kemewahan, Richard harus berdiri di kedua kaki sebagai penopang. Jika kakinya sendiri lemah, maka tubuh itu akan tumbang.

Tidak ada harapan lain untuk Richard darinya selain kebahagiaan lelaki itu. Pada dasarnya, semua kebahagiaan akan berada pada posisi dan porsinya.

"Hei, Richard! Fokus! Kau pikir ini ajang untuk melamun?"

Christian menyelipkan senyum kecil dan jahil yang cukup tak terlihat setelah menegur Richard yang terkejut karena terlalu asyik memandangi Andrea hingga lupa berpijak pada dunia nyata.

Setelah mendapat delikan kesal Richard, ia kembali berkata, "Fokus! Aku tahu kau sedang jatuh cinta! Tapi bersikaplah profesional!"

Richard tak bereaksi apa-apa selain memandang Christian dengan wajah datarnya. Di dalam hati, ia bergumam kesal dan marah.

"Anak brengsek!"

.

.

.

TO BE CONTINUED

Unexpected Destiny ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang