Chapter - 5. Pissed Off

198 25 2
                                    

HAPPY READING 📖

-------------------------------------------

Pagi-pagi sekali, Andrea bangun tidur. Biasanya, mendekati jam kerja baru ia bersiap-siap. Sekarang, keadaannya sangat berbeda. Sulit memang, tapi harus ia coba. Walaupun masih mengantuk dan ingin tetap berbaring, tapi ucapan Richard terngiang di kepala. Ia tidak ingin pria itu merasa menang karena telah menjatuhkan harga dirinya.

Keluar dari kamar mandi, ia duduk di depan cermin, menatap pantulan wajahnya kemudian mengembuskan napas. Agak malas, ribet, namun ini yang harus ia lakukan. Sedikit penyesalan mengikuti kemauan Richard memang ada, tapi ia harus tetap konsisten. Demi Matthew!

***

Penampilan baru Andrea, mengembangkan senyuman Richard. Apa Andrea meresapi ucapannya hingga mengubah penampilan? Ketika melewatinya, gadis itu meliriknya sinis. Harapannya jatuh sampai ke dasar-dasar yang paling dalam lalu dikubur hidup-hidup. Semua perkiraannya salah. Gadis itu tersinggung, bukan mencoba peka. Ia tidak bodoh untuk menyadari hal kecil semacam itu. Karena tersinggung, Andrea berubah. Seandainya saja mulutnya bisa dikontrol lagi, mungkin Andrea tidak akan meliriknya sinis, melainkan tersenyum manis.

Andrea duduk di bangku kerja lalu terkejut ketika Elisa menepuk bahunya.

"Tumben sekali kau berubah? Kenapa?"

Andrea mengangkat bahu acuh. "Tidak apa-apa. Hanya ingin berpenampilan sewajarnya."

"Tapi kau yang sebelumnya lebih cocok. Maksudku, bukan aku menyinggung. Tapi, itu sudah menjadi ciri khasmu dan aku suka."

Andrea memutar bola mata. Malas meladeni. Ia tahu orang semacam Elisa pasti takut kalah saing. Apalagi ia teramat percaya diri saat memasuki ruang divisinya karena ia sudah cantik. Mommy, Daddy, dan Chandra saja tercengang. Apalagi mereka-mereka ini. Ia harap Matthew pun tercengang dan segera melamarnya menjadi kekasih.

"Kau bisa saja suka tapi orang lain tidak," ketusnya.

Elisa mengedikkan bahu. Mungkin Andrea sedang di masa yang paling sensitif. Apalagi ini masih pagi, ia tak mau mencari keributan hanya karena penampilan. Ia mulai bekerja walaupun dalam hati kecil ini agak tak suka Andrea berpenampilan memukau dengan pakaian seadanya, namun masih tampak bersinar.

Andrea mulai menghidupkan komputer, mengatur barang-barang dari tas ke meja kerja, kemudian tersentak saat suara itu mengganggunya di saat ia merasa bahagia dengan penampilan ini. Siapa lagi kalau bukan Richard si kacung.

"Hey, Cantik! Kau menawan sekali pagi ini," goda Richard sembari duduk di sisi meja Andrea. Saat Andrea menatapnya, ia mengedipkan sebelah mata lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Andrea. "Kau tersinggung dengan kata-kataku, kan, Sayang?"

Andrea melirik sinis Richard kemudian melayangkan tamparan di rahang Richard teramat keras hingga Richard menjerit.

"Awh, Babe! Jangan kasar! Aku hanya bertanya," gerutu Richard sembari memegang pipinya. "Sakit, Sayang!"

"Diam! Pergi kau! Mengganggu saja kau di sini!" geram Andrea. Berhadapan dengan Richard, kecantikannya mendadak memudar. Richard selalu membuat ia naik tensi. Wajahnya pasti memerah, hidungnya kembang kempis seperti babi karena dihadapkan dengan manusia gila.

"Lihat, pipiku pasti merah. Boleh tolong elusin?"

"Kau ingin kutampar lagi?"

"Ampun, Sayang. Oh, iya. Kau cantik sekali. Kau berdandan untuk siapa? Untukku? Sepertinya aku akan mati karena wajahmu, Rea. Kalau aku seorang pujangga, kau pun akan mati dengan rayuanku."

"Rich. Get. Out!" tekan Andrea karena kesabarannya mulai menipis. Jangan sampai harga diri yang sudah sudah ia junjung tinggi, malah dijatuhkan karena berdebat dengan Richard. Tidak lucu dandannya langsung hancur karena marah-marah.

"Oke-oke. Aku pergi. Ngomong-ngomong, kita makan siang bersama, ya? Aku sekarang sudah kenyang menatap wajah cantikmu. Kalau aku masih lapar, kau duduk di depanku biar aku lebih kenyang. Hitung-hitung biar aku tidak banyak makan untuk menggaet gadis cantik ini." Suara tawa tertahan dari orang-orang di divisi Andrea, mengganggu telinga. Kepala Andrea yang mulai berasap walaupun tak terlihat, dapat dilihat secara batin oleh Richard. Ia segera pergi sembari melambaikan tangan pada Andrea dan memberikan kecup jauh, mengumumkan Andrea miliknya, meskipun hanya dari gurauan. Karena ia mulai suka orang-orang menganggapnya ia menyukai Andrea. Jika begitu, Matthew pun akan mengganggapnya begitu dan tidak berani mendekati Andrea.

"Love you, Sayang!" teriaknya dari jauh lalu kembali ke ruang divisinya, disambut tawa-tawa dari teman-temannya. Dilirik sekilas Matthew. Terlihat jelas raut pria itu seperti tak suka. Haha, masa bodoh. Siapa suruh lelet. Dasar pengecut, ejeknya dalam hati.

Andrea menarik dan mengembuskan napa berulang-ulang. Berhadapan dengan Richard, memerlukan tenaga ekstra. Untung hari ini ia ingin tampil cantik, anggun, dan manis. Jika tidak, mungkin sudah ia dampratkan sepatu ke kepala Richard. Tawa-tawa dari divisinya membuat matanya menajam, apalagi tersirat lelucon.

"Apa?!" tanyanya sangar. Hilang sudah keanggunan yang ia miliki. Dalam sehari Richard sudah merusak semua kecantikan yang ia bangun. Richard sialan! Sampai kapan pun ia akan mengganggap pria itu musuh terbesar! Karena Richard-lah tampilannya seakan tak berarti!

"Jangan marah-marah, Rea. Richard menyukaimu. Hanya saja dia banyak tingkah untuk menarik perhatianmu."

"Masa bodoh! Jijik aku melihat pria sepertinya! Dia pikir dia bisa merebut perhatianku? Cih! Tidak akan bisa!" Dalam hati Andrea bertanya, apa benar Richard menyukainya? Tapi kenapa manusia tak berakhlak itu mengejeknya terus-menerus?

Wanita yang sempat menggoda Andrea, terkekeh. "Hati-hati, satu divisi ini tahu Richard menyukaimu. Dia saja yang kecentilan."

"Kalau kau disukai pria sepertinya, kau mau?" tanya Andrea balik, risih dengan ucapan konyol tak berbobot itu. Seharusnya jika Richard menyukainya, pria itu harus memuja, memperlakukannya bak ratu. Ini malah terbalik. Bagaimana bisa ia berpikir jika Richard menyukainya?

"Jelas aku mau. Dia humoris dan tampan. Siapa yang tak ingin mendapatkan pria sepertinya?" Wanita bernama Audrey itu menggelengkan kepala.

"Tapi tidak mungkin pria yang menyukai perempuan, berkelakuan seperti monyet!" gerutu Andrea. Dalam hati mulai tak enak dan banyak bertanya-tanya.

"Terserahmu. Kau akan tahu jawabannya kalau kau bertanya padanya langsung."

"NO! Of course no!" tegas Andrea kemudian melipat tangan dengan tatapan ke keyboard. Benarkah Richard menyukainya? Ia mendadak penasaran? Kalau benar, kenapa bisa? Apa Matthew tahu? Kalau tahu, bagaimana perasaannya? Apa cemburu? Sakit hati? Atau bagaimana?

Astaga, Rea! rutuknya. Kenapa ia bisa mengganggap Matthew cemburu? Otak ini mulai kacau pagi-pagi. Karena omongan mereka, malah menjadi beban pikiran. Demi menyegarkan kepala cantiknya, ia berdiri lalu melenggang pergi untuk membuat kopi. Ya, otak ini harus diistirahatkan sejenak lalu mulai berkutat dengan pekerjaan. Berharap si curut tidak lagi datang untuk mengganggu. Ya, segelas kopi susu di pagi hari adalah pilihan terbaik.

.

.

.

TO BE CONTINUE

Unexpected Destiny ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang