08 : Don't Judge Us

90 26 71
                                    

150621
-


15 November, 2013.
Daerah istimewa, Yogyakarta.


"Ayo deh kita pulang bareng." ajak Haechan saat mereka baru keluar kelas masing-masing.

"Jaem, kamu nggak ada latihan olim sama Jeno?" tanya Jena pada Jaemin.

Jaemin menggeleng sembari memakai tasnya di punggung "Cuman hari Selasa sama Rabu aja." jawabnya.

Mereka segera menuju keluar sekolah untuk menunggu angkot yang berhenti yang membawa mereka pulang.

Mereka pun juga berjalan beriringan menuju rumah sambil berbincang-bincang ringan. Untung hari ini tidak turun hujan jadi tidak akan khawatir tiba-tiba turun hujan lalu deras.

Dejavu.

Bukan Jaemin, tapi Haechan.

Haechan menghentikan langkahnya lalu menoleh ke sumber suara yang ia dengar, otomatis teman-temannya juga ikut berhenti dan melihat kelakuan Haechan yang seperti mencurigai sesuatu.

"Napa, Chan?" tanya Jeno pelan, namun Haechan masih diam.

"Kenapa si Jaemin sama adeknya ngga dititipin ke panti asuhan sih ya? Takutnya ada apa gitu? Yang nyusahin?"

Masih ingat dengan ibu-ibu yang suka ngumpul itu? Ya, mereka membicarakan Jaemin dan adik-adiknya itu. Jena, ia sudah mematung setelah mendengar percakapan ibu tadi dan pikirannya langsung blank.

Risih? Jelas. Bahkan hingga jari-jemari tangannya bergetar. Melihat Jaemin yang sedang melihat ibu itu.

Renjun mengambil tangan kanan Jena dan membawa ke genggaman besarnya, ia membalikkan tubuh Jena menghadapnya sehingga mata Renjun melihat wajah cantik Jena yang tadinya ceria seperti pelangi tapi sekarang bak akan turun hujan.

Renjun menutup kedua telinga Jena "Jangan dengerin." ucapnya, tak tega dengan wajah cemas Jena itu.

"D-dia... Ngomongin kita?" tanya Jaemin berbisik ke Haechan dan Jeno.

Terus-terusan ibu itu membicarakan Jaemin beserta kedua adiknya, sampai tak tahan telinga itu mendengarnya. Mendengar satu kata yang keluar dari mulut ibu itu sudah sakit.

Haechan melangkahkan kakinya sedikit mendekat ke ibu-ibu itu, berani-beraninya membicarakan Jaemin dan adiknya itu. Haechan tak akan tinggal diam.

Lagi-lagi ibu-ibu itu menatap remeh ke mereka semua.

Haechan menatap ibu itu datar "Bu, ada bagusnya ngomongin orang kayak begitu? Apa yang membuat ibu sampai menjelekkan dia? Kita memang bukan dari keluarga yang elit, keluarga kaya raya. Setiap orang punya perasaan juga, dia juga akan sakit kalau dihina kaya begitu, Saya juga sakit, Bu."

"Ibu ga suka kita, ya? Yaudah tinggalkan aja tapi nggak usah dibicarakan kayak begitu, kita juga ngga ada salah sama ibu. Maaf, Bu. Kalau mau berbicara pikirkan dulu bukan berbicara sebelum dipikir."

Kalimat yang keluar dari mulut Haechan berhasil membuat ibu-ibu itu terdiam, Haechan mengode teman-temannya untuk kembali berjalan lagi menuju rumah.

Jeno memegang pundak Jaemin, mengisyaratkan seperti tak usah mendengarkan ucapan itu tadi. Tapi kadang masih membekas yang tidak bisa dilupakan seperti luka yang cukup dalam? Dibilang luka cukup dalam juga bukan sebenarnya- luka yang selalu teringat bagaimana sakitnya itu.

Jena. Perasaannya masih gelisah tercampur takut dan menjadi satu, dengan tangannya yang masih menggenggam erat tangan Renjun.

Jaemin membalikkan badannya menghadap Jena yang masih menunduk daritadi. Ia memegang pundak Jena, "Jena? Nggak papa?" Jaemin menatap dengan sorot khawatir.

Mata Jena mulai berkaca-kaca dan bibirnya pun bergetar, ia menunduk dan menggeleng. Jaemin mengelus kepala Jena lembut "Udah ya jangan nangis dulu, jangan dihirauin yang itu tadi. Ya, Jena?" ucap Jaemin, suara lembut itu yang dapat menenangkan Jena.

"Jena, minum air putih. Nih." Jeno membuka botol air minum miliknya untuk Jena, lantas Jena meneguk air putih itu.

"Udah yuk pulang, jangan nangis dong ada kita semua disini nemenin kamu kok. Ya Jena, ya?" Haechan dengan senyuman manisnya untuk menghibur Jena.

***

Jisung mempercepat kakinya untuk menggayuh sepedanya karena hari mulai gelap akan turun hujan. Sampainya didepan rumah, ia segera turun dari sepeda dan hendak membuka pagar rumah. Tapi niatnya ter-urungkan karena-

"Hahahaha kalian tau ga sih? Itu si Jisung adeknya Jaemin Jaemin itu, sehari-harinya makan apa ya mereka,"

"Jangan-jangan mereka pake pelet tuh buat makan doang."

Mata sipit Jisung sedikit melotot karena terkejut, ia menoleh kebelakang dan melihat segerombolan perempuan yang duduk di pondok tak jauh dari rumahnya.

Jisung masih tak ngerti, apa Jisung punya salah kepada mereka?

"Oy, culun!"

Kedua kalinya Jisung menoleh ke ketiga perempuan itu tadi. Ternyata mereka memanggilnya, tapi ia masih diam dan berusaha tenang.

"Aku pengen tau gimana kamu makan, kakakmu kerja, ya?" ucap salah satu dari mereka berjalan mendekati Jisung yang masih disebelah sepedanya.

Perempuan yang barusan bicara itu mendecih remeh "Aku tanya kamu, heh! Gabisa ngomong?" ucapnya menoyor kepala Jisung.

Terdengar suara langkah kaki dari garasi rumah, itu Jena.

Jena menatap ketiga perempuan itu tajam, bukannya pergi salah satu perempuan tadi yang sepertinya dibilang ketua dalam pertemanan mereka malah menatap Jena seperti menantang balik.

"Kamu mau apa kesini? Duit?" ucap Jena tenang.

Mereka tertawa remeh "Ngapain aku minta duit ke kamu, takut nanti abis aku yang kasian. Hahahhahaa!"

"Kurang ajar, aku nggak se miskin itu, ya! Asal kamu tau!" Jena menunjuk wajah mereka dengan telunjuknya.

Perempuan itu maju mendekati Jena, ia menarik rambut Jena sehingga mereka bertatapan dengan dendam. "Kamu tau, ya. Kamu itu bukan apa-apa di komplek ini. Kamu cuman debu." ucapnya.

"Hanin! LEPASIN!" Ia namanya Hanin, preman wanita kalau Jena bilang.

Jisung pun tak tinggal diam, ia menarik lengan Hanin dengan paksa tapi dengan mudahnya Hanin menepis tangan Jisung hingga ia mundur beberapa langkah.

"HEH APA-APAAN SIH INI!"

Jaemin, ia keluar dari garasi dan langsung memisahkan Hanin dan Jena. "Kamu ga tau malu ya sekarang?" Jaemin menatap tajam Hanin.

"Haha! Apaan, bisa apa kalian?" ucap Hanin.

"Aku baru tau ya ternyata, sama kaya ibumu. Anak sama ibu sama aja beda tipis, ga jauh beda." sahut Jaemin.

Jena dan Jisung terkejut bukan main, kali pertamanya mereka melihat Jaemin dengan nada marahnya seperti itu.

"Apaan bawa-bawa ibu?!"

Jaemin mengangkat alis kanannya "Lalu? Bisa nggak gausah omongin orang tua kita?" Jaemin bertanya balik.

"Gabisa jawab lagi, pulang sana emakmu nyariin!"

***

Hai^^ hehe, jangan marah ya aku buat mereka jadi kek begini :v aokwkwkwk.

Nyoh tak kasih Haechan :b

Nyoh tak kasih Haechan :b

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I'm just far away from home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang