22 : Kabar Buruk

93 21 34
                                    

280621

masih di hari yang sama.









Pandangan Haechan masih tertuju pada kamar Jena, perasaannya campur aduk. Hampir lima menit ia masih terdiam di tempat yang sama, Haechan melangkah pelan menuju kamar Jena.

Ia masih melihat Jena yang mengenakan mukena tapi...

Mengapa gadis itu sama sekali tak bangun dari sujudnya?

"Jena..?" panggilnya pelan, sangat pelan. Tapi yang dipanggil tetap sama saja.

Alisnya berkerut, apa ini...? Tunggu, tunggu. Haechan sudah berpikir lebih jauh tentang maksud dari ini, ia bingung sendiri. Sampai bulir-bulir keringat mengalir di pelipisnya.

"J-Jaem! Jaemin, sini!!" seru Haechan hingga menggema dalam satu rumah itu karena masih panik setengah mati.

Para remaja itu yang sedang di ruang tamu terkejut mendengar teriakan Haechan, mereka pun langsung menghampiri Haechan di belakang. Sempat terbingung juga apa yang Haechan lakukan itu.

"Kenapa, Chan?" tanya Jeno mewakilkan temannya.

Bibir Haechan nampak bergetar "i-itu, Jena..." Haechan menunjuk kedalam kamar Jena, perasaan terkejut bukan main di Jaemin. Ia langsung masuk kedalam kamar Jena dan menemukan apa yang Haechan bicarakan tadi.

Jaemin masih diam tapi tidak dengan perasaannya yang pun sama campur aduk, Jeno juga menyusul Jaemin didalam kamar Jena.

Jaemin emegang punggung Jena dan membangunkannya "J-Jena.. Jena! Jena, bangun!!" matanya mulai mengeluarkan cairan bening, ia menggoyangkan tubuh Jena tapi tak kunjung bangun.

"Jena, bangun!" ujar Jeno juga menggoyangkan tubuh Jena, pun sama hasilnya.

"Jena bangun! Jena jangan gini, Na!"

"Chan! Panggil teteh mu cepet! Kita bawa Jena ke rumah sakit!" seru Renjun pada Haechan, dan yang disuruh langsung melakukan.

Jaemin melepas mukena Jena dan memangku tubuh Jena di pahanya, ia menangis tersedu-sedu melihat Jena yang tak bangun. "Jeno... Tolong Jen..." lirih Jaemin menatap Jeno dengan matanya yang berair.

"Tunggu dulu, Jaem, sabar dulu. Haechan lagi telpon Tetehnya." ujar Jeno.

Beberapa saat lalu, suara langkah kaki yang terdengar sedang berlari terdengar dari kamar Jena. Itu Icha dengan raut khawatirnya .

"Ayo bawa ke rumah sakit!" ucap Icha hendak mengangkat tubuh Jena.

"Mbak, biar Jeno aja yang ngangkat. Jaem ayo, kunci rumah dulu." ucap Jeno, semua pun langsung menuruti perintah Jeno.

Jeno mengangkat tubuh Jena dan berjalan disusul Haechan dan Renjun dibelakang, tak lupa Jaemin yang tengah mengunci pintu rumah.

Mereka semua sudah didalam mobil. tanpa aba-aba, Icha langsung menjalankan mobilnya menuju rumah sakit. Tentu Icha mengebut, jalanan sedang tidak padat.

Tak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di rumah sakit, Jaemin dan Jeno langsung mengangkat tubuh Jena yang terlihat lemas.

"Suster! Tolong!" seru Renjun saat ia melihat suster yang kebetulan membawa bangkar rumah sakit, suster itu langsung sadar dengan keadaan dan langsung menyuruh membaringkan Jena pada bangkar.

Jaemin masih menggenggam tangan Jena karena masih panik, napasnya pun berburu. "Tunggu dulu ya, kami periksa dulu." sang suster berbicara pada Jaemin untuk melepaskan genggamannya di tangan Jena.

"Tolong, ya, Bu..."

Si suster tersenyum tipis seraya mengangguk.

"Ditunggu dulu ya, Dek."

***

Keempat remaja laki itu beserta Icha duduk didepan ruang rawat dimana Jena diperiksa tadi.

Jaemin diam tak bersuara daritadi, ia hanya menunduk menatap ubin rumah sakit beserta jari-jemarinya yang bergetar.

Icha beralih duduk disebelah Jaemin. sekian lama tak bertemu dengan Jaemin, terakhir kali Icha melihat Jaemin pun saat pemuda itu masih kelas enam sekolah dasar.

"Jaemin, sabar dulu, ya." Icha merangkul pundak Jaemin dari samping dan mengatakan kalimat untuk menenangkan Jaemin.

Jaemin terisak "Jena... G-gimana dia, Mbak Icha.." lirih Jaemin, air matanya tak berhenti turun dari mata indahnya.

Icha beralih memeluk Jaemin dari samping dan mengelus punggungnya yang bergetar "Iya, iya Mbak Icha tau, Jaemin berdo'a buat Dek Jena, ya. Pasti nanti didengar sama Allah, ada kita kok, Jaem." ujarnya.

Tidak, Jaemin tidak bisa kehilangan kembarannya itu.

"Jena... Temenin aku dulu, Jena... Aku nggak mau sendiri walaupun ada Jisung."

Hampir dua jam berlalu, mereka masih menunggu didepan ruang rawat Jena. Yang ditunggu pun selesai, sang dokter keluar kamar rawat Jena.

"Walinya... ananda Jena? Ada?" tanya sang dokter melihat para remaja itu dan juga Icha.

Jaemin langsung berdiri dari duduknya dan diikuti Icha disebelahnya "Saya saudaranya Jena dok, bagaimana keadaan J-Jena, dok?" tanya Jaemin masih berusaha menahan tangisnya.

Dokter tersenyum tipis "Tuhan berkehendak lain, ananda Jena meninggal dalam keadaan khunsul khotimah." jelas dokter.

Renjun, Jeno dan Haechan terkejut bukan main apalagi Jaemin. Kakinya sampai lemas seketika.

"D-dok! Jangan bercanda dok, ke-kembaran saya—" Jaemin kembali menangis, tak peduli berapa sepasang mata disekitar yang melihatnya.

Dokter tersenyum tipis dan membungkuk sedikit "Saya permisi dulu."

Matanya yang berair, hidungnya yang sudah merah. Tenggorokannya yang sakit sudah tak kuat bicara atau menangis lagi.

Jeno, Haechan dan Renjun. Beserta Icha pun tak tau lagi apa yang harus mereka katakan pada Jaemin yang kehilangan kembarannya... Dan juga orang tuanya.

Benar itu. Jena meninggal dalam keadaan sujud, ia akan pergi menuju nirwana menyusul orang tuanya. Mungkin Jena sudah rindu Ibu dan Bapak.

I'm just far away from home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang