10 : Berbincang tentang Mimpi

85 27 63
                                    

170621

Apa saat kita sedang berimajinasi itu salah? Kenapa orang selalu bilang saat kita berimajinasi tentang mimpi atau lainnya, mereka selalu bilang 'imajinasi terlalu tinggi, halu.'

Lalu apa yang membuat mereka berbicara seperti itu? Mengapa mereka menilai orang yang sedang berimajinasi? Apa yang salah?

Kita bermimpi juga berimajinasi, berangan-angan apa yang kita lakukan di masa depan. Benar bukan?

Sesuai fakta. Semua orang pasti punya mimpi, jika mereka yang menilai kita sedang berimajinasi... Dia juga punya mimpi kan?

***

19 November, 2013.
Daerah istimewa, Yogyakarta.

Jisung Adhitama.

Melihat banyak orang melakukan sesuatu yang menarik, semakin aku terinsipirasi dan ada niat untuk mencobanya. Tapi ... Aku enggak tau apa yang membuat aku mengurungkan niatku.

Kak Jaemin dan kak Jena selalu bilang sama aku, "Lakuin apa aja yang kamu suka" dan juga.. "Kamu boleh berbagi cerita kamu ke kakak, kita bisa bercerita bareng tentang mimpi." Tapi aku masih bingung sama perasaan sendiri. Nggak bisa aku jelaskan dengan kata-kata maupun dalam tulisan ini.

Berberapa hari lalu... Aku bermimpi, aku menjadi seorang dancer. Untuk sekarang, aku memang sangat ingin mengikuti les dance yang banyak di sana, di kota tempat tinggalku ini. Tapi.. Sama seperti tadi, tidak bisa aku jelaskan.

Dalam mimpi itu... Aku datang di suatu tempat latihan dance, bahkan di mimpi itu aku menjadi guru dance. Melihat murid-murid yang akan aku ajarkan tentang dance, senyum manis di wajah mereka mereka saat aku memasuki ruang latihan... Seakan-akan mereka mengatakan sangat senang lewat senyuman.

Perasaanku dalam mimpi itu... Aku pun tidak menyangka, itu serasa sangat nyata.

Lalu... Itu berubah, hanya sekilas. Mimpi itu hanya singgah didalam tidurku, tapi berharap itu menjadi kenyataan.

***

19 November, 2013.
Daerah istimewa, Yogyakarta.

Sepulang sekolah, Jisung langsung mengganti seragam sekolahnya menjadi baju rumah dan boxer yang selalu ia pakai saat dirumah. Dihampirinya kakak perempuannya yang sedang makan.

"Makan?" tawar Jena.

Jisung mengangguk "Iya habis ini makan,"

Mereka diam dalam pikiran masing-masing, tak tau apa yang Jisung pikirkan, ia hanya terdiam sambil melihat Jena yang sedang makan.

Jena menyentuh hidung Jisung "Jangan bengong aja, mikirin apa sih?" ucapnya dengan kekehan andalannya.

"Kak,"

"Hm?"

"Menurut Kak Jena... Mimpi itu apa sih?"

Jena memberhentikan aktivitas mengunyahnya dan melirik Jisung dengan tatapan polosnya yang seperti minta penjelasan.

Lantas Jena menghabiskan makannnya lalu meminum segelas air putih selepas makan.

"Menurut kakak ... Mimpi itu ... Bisa seluas samudra, bahkan bumi ini."

"Mimpi itu apa yang kita lukis dalam tidur kita, dan berharap itu menjadi kenyataan." lanjut Jena.

Jisung menganggukkan kepalanya dengan bibirnya yang mengercut. "Kenapa, ya... Orang selalu bilang kalo kita berharap.. Dibilang halu, gajelas, bla, bla, bla, gitu. Kenapa sih?" sahut Jisung.

Jena terkekeh lalu mengusak surai tebal dan lembut milik Jisung, "Ya enggak toh, mereka aja yang lebay kalo ngatain kaya begitu, aslinya enggak kok. Mereka yang ngatain kaya begitu, hanya tau halu doang. Sedangkan kita ada mimpi dan kerja keras. Yang penting cuma satu Jisung, kerja keras itu perlu banget."

"Paham maksud Kakak, ya?" sahut Jena, lantas Jisung langsung mengangguk.

"Kakak lanjutin, ya. Mereka yang ngatain gitu cuman tau halu doang tapi nggak tau gimana kita yang sedang kerja keras untuk buat itu yang awalnya kita halu menjadi kenyataan, nah gitu maksud kakak." jelas Jena lagi. Jisung semakin paham maksud kakaknya itu.

"Dan nanti suatu saat, kalo kamu berhasil apa yang kamu impikan... Mungkin berpikir 'kenyataan ini seperti mimpi', bukan begitu... Tapi mimpi kamu yang sudah menjadi kenyataan dan itu hasil kerja keras kamu, Jisung."

"Satu lagi,"

"Apa yang kamu impian itu, ada didalam hati kamu sendiri." Jena menaruh telunjuknya di dada kiri Jisung setelah berujar.

"Bisa, ya?" Jena mengangkat kedua alisnya.

"Pasti bisa!"

Senyum Jena mengembang, "Sip pinter! Sini peluk," Jena merentangkan tangannya dan memeluk kedua bahu lebar Jisung, menaruh dagunya pada kepala Jisung.

"Kak..."

"Iya?"

"Kangen ibu sama bapak, ya?"

"Banget, lebih dari apapun."

"Sabar ya, Jisung... Ibu sama bapak pasti juga kangen kita kok, mereka pasti tau kalo kita baik-baik aja. Mereka juga lihat kita dari sana, dari surga." Jena mengusap pelan punggung Jisung.

Jisung mengangguk dalam dekapan Jena, "Aku pingin ketemu ibu sama bapak sekalii aja, aku mau lihat wajah mereka secara langsung... Bukan lewat foto aja." ucap Jisung, suaranya bergetar. Suasana menjadi terasa sedih karena mengingat ibu dan bapak mereka.

Tak pernah bertemu dengan ibu bapaknya karena masih kecil dna tidak tau apa-apa, Jena tau. Jisung sangat rindu dengan mereka.

Tangan Jena masih mengusap punggung Jisung dengan pelan namun terasa nyaman. "Jisung jangan nangis, ya. Ingat, kita nggak sendirian kok. Ada tante Wendy, om Rangga, Jaemin, Haechan, Jeno sama Renjun. Banyak, 'kan?" Jena melepas pelukannya dan menatap mata adik kecilnya yang sudah berair.

Jisung mengangguk lagi dan langsung memeluk Jena kedua kalinya, sebagaimana eratnya pelukan itu seakan-akan tak ingin dilepas.

"Jisung sayang kak Jena, sama kak Jaemin..."

***

I'm just far away from home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang