Gaya busana orang-orang berubah mengikuti jaman. Tak lagi berkerah kaku atau rok payung dengan warna kelabu. Namun apa yang didapat Erik meski segalanya makin tampak beda? Dia hanya perlu lembaran baru, dan berharap seseorang berhasil menciptakannya.
It’s all about Paraduta Erik Noor Hermansyah, just call him Erik Herman.
***
Krim kue tart di depan Erik mengembun. Pukul 10 malam, dan waktunya habis untuk menonton krim itu berubah lembut setelah mengeras di dalam lemari es tiga jam lalu. Dia menatap sekeliling kafe kopi. Hanya ada dua anak kuliahan tengah lembur mengerjakan tugas, ditambah Erik. Totalnya empat orang bonus satu pelayan kopi dengan seragam serba hitam.
Getaran ponsel kembali mampir. Erik mengecek. Satu lagi sahabatnya batal datang dengan alasan ban mobilnya kempes. Kini dia merasa dunia sangat tak adil di malam ulang tahunnya ke-40.
“Mana temanmu? Kue tart-nya hampir leleh.” Seorang pelayan terkikik melihat nasib Erik. Ia geleng-geleng kepala dan berlalu. Sudah tiga jam lebih Erik duduk di tempatnya menghadap kue tart bertema lipstik, sahabat lelaki itu tak ada yang datang.
Erik diam. Kini kue tart di depannya tak lagi spesial. Dia mengiris bagian samping dan memakannya sambil melamun. Happy birthday to me. Hatinya berdesir hampa. Namun lagi-lagi ponselnya berdering. Seseorang meneleponnya dan Erik perlu mempersiapkan diri sebelum menjawab,
“Erik di sini.”
“Hai! Happy birthday, darling. Kamu lagi dimana? Rencana aku mau mampir ke apartemenmu sebelum balik ke Bogor. Kita bisa potong kue sebentar, atau—”
Mode loud speaker terpasang. Erik meletakkan ponsel di samping gelas kopi dan mengabaikan ocehan Sesa sambil makan kue. Nothing is special. Semua terlanjur kacau semenjak Sesa meninggalkannya tanpa alasan jelas tiga tahun lalu dan hanya mengubungi saat ulang tahun, bertambah kacau dengan ketiga sahabatnya memutuskan untuk tidak datang ke undangan ulang tahunnya di kafe kopi dekat Anderson Group. Kini dia kesepian, sampai Erik berhasil menghabiskan potongan ketiga.
“—Erik? Darling? Kamu masih di sana?”
“Aku mendengarmu.”
“Jadi dimana kamu sekarang? Lima belas menit lagi tart-nya sampai, aku udah siapin semuanya buat kamu.”
Suapan terakhir, Erik menggeleng sebelum menjawab, “Sorry, Sesa. Posisiku di luar. Tolong berhenti menghubungiku kalau itu hanya kamu lakukan setahun sekali.”
Lalu sambungan dimatikan sepihak. Erik juga mematikan ponselnya setelah kesal dengan ketiga sahabatnya. Seumur hidup Erik, dia hanya punya tiga sahabat baik yang menurutnya selalu ada saat duka maupun suka. Mona dengan kelemotannya, Nina dengan cerewetnya, dan kepedulian Laras. Mereka selalu menemani Erik selama hampir 16 tahun bersama.
Kesedihan meluap. Erik berusaha keras mengenyahkan sikap feminim di dirinya, tapi kini merasa tak sanggup menahan tangis. Dia menyingkirkan gelas kopi dan kue tart. Sambil membungkuk air matanya keluar.
“Tart lipstikmu masih banyak. Jangan dianggurin.”
Erik menegak. Pelayan kafe kopi yang tadi mengejeknya mulai menemani kesedihan Erik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Queer Heart: all about Erik
RomanceErik Herman bersikap feminim setelah sering mengagumi kecantikan wanita sejak kecil serta mengakibatkannya memiliki kekasih sejenis, tetapi patah hatinya setelah ditinggal kekasih tanpa kabar dan pertemuannya dengan Salma membuat Erik mulai berubah...