8.

1.2K 201 2
                                    

Erik bersenandung lirih ketika memasuki Anderson Group. Menyapa Winda dan Farzana, dua resepsionis cantik sekaligus salah satunya adalah pengagum rahasia Erik. Pagi itu, hati Erik sedang cerah. Lebih berwarna karena quality time bersama Salma beberapa hari terakhir. Memasak bersama, jalan-jalan, belanja, sampai liburan satu hari. Bahkan, pekerjaan menggunung pun kini tak terasa membebani pundak.

"Pagi, Pak Erik. Senyumnya lebar sekali," sindir Fahmi, anak legal yang terkenal punya mulut ember.

Erik tersenyum, berhenti sebentar dan menatap belasan kubikel sempit di lantai kerjanya.

"Pagi. Ketahuan kalau hati saya baru cerah?"

"Banget! Ada apa gerangan? Pak Erik nggak lagi dapet arisan di perkumpulannya Pak Sandro, 'kan?"

Erik menggeleng, senyum masih tak mau luntur dari bibirnya.

"Atau ... Pak Erik dapet pacar baru?" tebak Fahmi memancing.

"Pacar? Setua saya masih layak punya pacar?" Erik menggeleng, enggan menjawab sebelum balik badan, tapi baru selangkah, Erik berbalik dan menatap Fahmi lagi.

"Kamu menyapa saya tapi lupa mengingatkan, pagi ini kita ada briefing, 'kan?"

Fahmi tahan napas. Ekspresi tertangkap basah dan ingin kabur terbaca jelas oleh Erik. Fahmi pun nyengir.

"Lupa?" tanya Erik dengan sebelas alis terangkat.

"Ah, enggak kok, Pak. Mana bisa lupa."

"Kalau gitu lima menit lagi kita briefing, dan jangan lupa semua divisi harus setor laporan ke saya."

Kini Erik benar-benar balik badan. Meninggalkan Fahmi yang gagal mengacaukan jadwal briefing dua minggu sekali. Karena di setiap briefing itu lah, Erik akan jadi Erik Herman yang ditakuti banyak staf Anderson Group, terutama divisi legal.

***

Banyak kepala menunduk, memikirkan banyak hal sementara Erik tak henti memberi wejangan tentang kinerja staf bawahannya. Sudah terjadwal tentang briefing di jam 8 pagi setiap dua minggu sekali, sekaligus pengumpulan laporan bulanan, beberapa staf legal sulit menerima kenyataan kalau pekerjaan mereka memang belum rampung, membuat Erik gemas dan banyak menegur ini-itu.

Dulu, sifat itu tidak muncul untuk Erik. Promosi dari Mr. Sandro 16 tahun lalu dari anak divisi yang bersarang di kubikel 1x1 meter, menjadi general manager, masih diemban Erik dengan sifat feminimnya. Sering mendapat intimidasi, perlakuan kasar dan olok-olok, tapi Erik tak pernah gentar. Nina, Laras dan Mona yang jadi tempat sampah Erik untuk berkeluh kesah, ditambah Sesa. Kini Erik sudah lebih dikenal sebagai Erik Herman yang tegas dalam banyak hal. Semua orang segan, semua staf mulai berpikir untuk berkelakuan baik di depan Erik.

Dua laporan bulanan di genggaman Erik dilempar ke atas meja kaca, titik perkumpulan briefing. Ini sudah kesekian kali Erik menekankan, tapi bawahannya lebih sering bersikap bandel.

"Satu laporan, tiga divisi. Dua lainnya di mana?"

Semua diam. Meski ditatap Erik satu per satu, tak ada yang berani menyuarakan pendapat seperti lidah mereka kelu.

"Siska?"

Yang dipanggil Erik mengangkat kepala. Begitu menakutkannya sosok Erik sampai dua orang di samping kanan-kiri Siska memilih satu langkah menjauh.

“Eung ... D-divisi saya udah OK, Pak. Mungkin pertanyaan bisa dilempar ke yang lain,” jawab Siska.

“Kalau gitu Fahmi?”

Queer Heart: all about ErikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang