15.

976 188 7
                                    

Jam weker di kamar Erik menjerit tepat pukul 6 pagi di mana si pemilik kamar sudah rapi dengan pakaian kerja. Erik menekan tombol jam yang membuatnya berhenti menjerit.

Ini bukan yang pertama di hidup Erik, dia duduk di tepian ranjang sejak subuh hari sampai jam wekernya menjerit. Membuyarkan segala pikiran yang bersarang di kepala Erik. Ini kali kedua. Saat dulu Erik pernah bangun pukul 4 pagi dan berpikir panjang tentang rasa sepinya setelah ditinggal Sesa dua tahun lalu, hingga membawanya memiliki tekad untuk berubah. Kini, Erik melakukannya lagi dengan alasan berbeda.

Erik berdiri dengan napas berat. Ponselnya kembali melakukan panggilan ke nomor yang sejak semalam dihubunginya tapi selalu gagal.

"Sorry, the number you are trying—"

Tak ada kesempatan lagi. Erik kembali menarik napas dalam lalu mengembuskannya. Ponsel dikembalikan ke layar utama dan disimpan ke saku jas. Memang kesalahannya sejak awal tidak pernah mau menyentuh kotak masa lalu di hadapan orang baru. Kini justru membuat Erik kehilangan Salma.

Erik memutuskan keluar kamar. Sebenarnya konyol untuknya berangkat kerja pukul 6 pagi. Hanya saja Erik tak betah berlama-lama di apartemen sementara semalam dia ribut besar dengan Salma.

Ruangan tengah apartemen Erik jadi saksi bisu. Emosinya sedikit tersentuh saat menutup pintu kamar. Teringat bagaimana semalam dirinya dan Salma sama-sama tak mau kalah dalam berargumen.

"Shit."

Erik membuang telepon ke atas sofa. Mengusap wajah kasar ketika sumpah serapah seperti tak ada habisnya untuk diucap. Dia berusaha mendekat ke Salma, namun gagal. Erik tak bisa menggapai sang kekasih ketika Salma memilih langkah mundur.

"Jadi itu alasan kenapa Satyo selalu gagal ketemu kamu, Erik?"

Air mata Salma menetes. Bukan hanya sekali, sampai Salma tak sanggup menahannya dan tersenyum penuh luka. Ia menertawakan sesuatu seperti hal lucu sedang dibahas.

"Satyo? Kamu perlu kenalin dia sebagai Sesa ke aku?" tanya Salma dengan satu tangan menahan dada Erik. Ia tak mau Erik terlalu dekat dengannya.

"Please."

"What are you doing!? Berat buat kamu ngomong hal itu ke aku? Sangat berat buat aku tahu segalanya tentang kamu sampai kamu sembunyiin ini semua!? Erik!!"

Salma tak tahan. Ia mendorong tubuh Erik dengan sisa tenaganya. Tapi Erik bertahan dan mencengkeram lengan Salma. Ingin membawanya ke pelukan.

"Dia cuma masa lalu, Sal! Aku malu sama kamu dan diri sendiri! Aku takut kamu pergi begitu tahu siapa Sesa di hidupku."

"Selama ini kamu nggak pernah percaya sama aku?"

"No—"

"Yes! You, don't!"

"I said no! I believe you!" bentak Erik penuh frustasi dan langsung mendapat tamparan dari Salma.

Deru napas terdengar saling bersahutan. Salma tak bisa menahan tangis karena merasa tak pernah dipercaya oleh kekasihnya.

"I believe you, Sal, but for this one—" Erik makin frustasi melihat Salma tertawa di sela-sela tangisan, wanita itu bahkan menggeleng menampik omongan Erik.

"Kamu nggak mungkin masih bertahan, Sal, sama semua kisah masa laluku."

"Masa lalu? Kamu yakin dia udah jadi masa lalu kamu atau memang kalian masih jalan di belakangku? Erik, kalau kamu memang cinta sama aku, anggap aku pasanganmu, nggak seharusnya kamu main kucing-kucingan kayak gini. Kamu cerita ke aku! Bukannya bicara di luar sama dia dan bohong segalanya ke aku!! Kamu kira kita baru sebulan jalan? Oh, atau kamu pikir setengah tahun kita berhubungan sama sekali nggak cukup buat kamu bisa percaya sama aku??"

Queer Heart: all about ErikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang