17.

767 136 11
                                    

Setengah kasar Erik keluar dari mobil. Kedua kalinya dia datang ke kediaman Salma dalam satu hari setelah tadi dia selesai menemui Sesa. Perasaannya kacau, bukan karena obrolannya dengan Sesa di ruang kerja Erik, melainkan kemarahannya yang membuat Erik tak punya pilihan banyak selain bertahan atau meninggalkan Salma yang sampai detik ini menghindarinya.

Pintu rumah Salma kembali diketuk Erik sama seperti pagi tadi. Erik juga memanggil sang kekasih secara tak sabaran sampai beberapa tetangga rumah kontrakan satu per satu keluar karena penasaran.

"Salma! Aku tahu kamu di dalam, Sal! Apa yang harus dihindari??"

Ketukan Erik makin lama makin jadi. Pertemuannya dengan Sesa tanpa sengaja memengaruhi isi hati Erik. Dia mau mempertahankan hubungannya dengan Salma asalkan wanita itu tidak menghindarinya seperti wabah. Erik akan berjuang demi apa pun, tetapi jika Salma masih memiliki sikap sama, Erik tak punya pilihan selain menutup hati lagi entah untuk sampai kapan.

"Salma!!"

Erik mundur ketika pintu tiba-tiba terbuka sedikit. Tanpa membuang waktu Erik mendorong pintu tersebut sebelum Salma menutupnya.

"Stop! Keluar, Erik! Kita bisa bicara di luar kalau it—"

"Kalau itu memang bisa! Kamu menghindar, Sal!"

"Karna aku belum siap ketemu kamu!"

Salma mundur, menjauh dari Erik yang kini sudah berdiri di tengah ruang tamunya.

Apakah akan ada sesi adu argumen kedua? Mungkin, itu bisa terjadi dengan mudah melihat emosi Erik sedang meledak. Salma berusaha jadi yang paling waras di hubungan mereka. Ia terus melangkah menjauhi Erik sampai berada di depan pintu kamarnya. Kalau pun Erik masih batu, tidak mau mendengarnya untuk keluar dari rumah itu, biar Salma yang masuk ke kamar dan mengunci diri sampai Erik putus asa.

"You are ready, Sal," ucap Erik parau. Matanya mulai berlinang menahan keputus asaan begitu melihat sang kekasih keukeuh menghindar dengan membuang muka.

"Apa yang harus dibahas? Hubungan kita selesai. Kamu bisa urus sisa kenanganmu sama dia lagi dan berhenti libatin aku."

"I need a little more time."

"Till when?!" Ekspresi Salma mengeras. Tangan kanannya di balik badan mengerat pada pegangan pintu. "Semua alasannya hanya itu. You need a little more time but till when, Erik?! Sampai aku bisa tahu sendiri kayak malam itu? What kind of our relationship ...? You selfish." Salma membuka kamar berniatan masuk, sebelum ia kembali menatap Erik dengan luka lebar di hati yang pasti terlihat jelas dari sorot mata.

"Kalau kamu memang perlu waktu, jangan dateng ke sini lagi. Please ...."

Pintu kamar ditutup. Bahkan Erik bisa mendengar jelas Salma mengunci dua kali pintu tersebut. Membuat Erik tak punya alasan lagi untuk tidak menangis. Hal yang berusaha keras dia pertahankan saat berdiri di depan Salma.

Langkah Erik lunglai mendekati pintu kayu berpelitur usang di depannya. Dada Erik juga nyeri saat tangannya menyentuh daun pintu. Lagi-lagi air mata sialan itu turun, membasahi pipi dan Erik tak lagi mempedulikannya. Dia memukul pelan pintu kamar Salma. Berharap tidak pernah mendengar wanita itu mengucap jelas kata selesai tentang hubungan mereka.

"I'm tryin' to pick myself up piece by piece from the most terrible memories of. Just need a little more time to tell you before he takes the start. Aku minta maaf dan aku menyesal, Sal. Kasih aku kesempatan untuk perbaiki hubungan kita," mohon Erik dengan kepala menyandar ke pintu.

Rasa nyeri di dada makin menjadi. Erik tak tahan sampai kesulitan bernapas.

"I'm sorry, Sal ...," raung Erik dengan bahu bergetar kencang.

Queer Heart: all about ErikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang