Titik terang menuju keberhasilan tentang tanah proyek Anderson Group sudah ada di tangan Nina dan Laras. Kedua wanita itu berhasil mengamankan lekaki bertopi merah lusuh yang sama seperti kemarin diberitahukan Erik. Lelaki itu tampak gemetar takut diajak bicara Nina dan Laras. Matanya jelalatan menatap keseluruhan teman-teman demonya, seakan menyaring semua wajah demi menemukan profokator dari rival Anderson.
"S-saya nggak tahu apa-apa."
"Tenang, Pak. Saya Nina Anderson, dan ini teman saya Larasati Goutama. Kami di sini untuk—"
"Sudah saya bilang, saya nggak tahu apa-apa!"
Nina memundurkan kepala singkat. Dibentak seperti itu, ia melirik Erik yang sejak tadi hanya diam mengamati. Mereka bertiga berdiri di belakang kerumunan demo, tertutupi oleh beberapa orang yang berdiri sambil membawa spanduk unjuk rasa.
"Kami orang baik, Pak. Kami hanya mau berunding soal harga. Saya tahu Bapak memang orangnya karena kemarin kalian bicara tentang aksi demo ini di gubug sebelah," ucap Erik membuat lelaki bertopi itu tak bisa berkata-kata.
"Setelah kita dapat kesepakatan, kami janji nggak akan ganggu Bapak lagi. Kalau bukan ke Bapak, sama siapa lagi kita harus berunding demi kalian? Bapak yang mewakili seluruh teman-teman ini, 'kan??" Laras mulai tak sabaran.
Masih sambil diam seribu bahasa dan pandangan jelalatan ke sana kemari, benteng pertahanan lelaki itu akhirnya runtuh. Beliau menarik lengan Erik untuk jadi yang pertama mengikutinya ke salah satu gubug, tapi Erik mencegahnya.
"Kami butuh tanda tangan kontrak di tempat. Bapak bisa sebutkan harga dari orang itu di sini!" seru Erik membuat lekaki itu memasang ekspresi tak suka.
"Di sini bukan tempat bagus!"
"Mau nggak mau kita harus di sini, Pak. Kita cuma perlu ngobrolin angka. Ya atau tidak, ini pilihan Bapak karna kami sudah bawa surat kontraknya," tambah Laras diangguki Nina.
Tidak ada pilihan lain untuk tidak menurut. Lelaki itu melepas topi merah lusuhnya kemudian menyembunyikannya di balik kaos biru keabuan. Beliau membaca kalimat per kalimat pada surat kontrak yang dibawa Laras. Dengan teliti, beliau juga menanyakan beberapa poin yang tidak dimengertinya. Erik dengan fasih menjelaskan. Dibantu Nina, pada akhirnya lelaki yang berani menyebutkan namanya sebagai Yatno itu mau menyebutkan nominal yang sudah diterima untuk menggerakkan demo.
"Angka itu baru diterima saya. Mereka-mereka dapat lima ratus ribu per hari termasuk makan minum pasca demo di salah satu gubug kami," jelas Yatno membuat Nina dan Laras merinding.
"Bukan cuma nasi rames. Kami juga dapat bantuan sembako lengkap sama sandang yang kalau dihitung-hitung bisa sampai satu juta per kepala keluarga. Sementara di sini, kami semua berjumlah enam puluh dua orang yang demo, dan ada empat puluh sembilan kepala keluarga."
Erik tercenung. Otaknya mulai berhitung secara cepat tanpa kalkulator nyata. Sebegitunya ketiga rival Anderson bermain kotor demi menjatuhkan saingannya.
"Terus, berapa uang ganti rugi tiap kepala keluarga kalau kalian yang menang pada sengketa ini?" tanya Nina memburu.
Yatno perlahan mencondongkan badannya ke samping Nina. Membisikkan nominal angka ke wanita itu yang langsung membuat Nina melotot ngeri.
"Yakin, Pak??"
Yatno mengangguk tegas.
Nina lantas melirik ke Laras dan Erik. Ia menarik kedua sahabatnya sedikit menjauh dari Yatno.
"Ini jauh dari angka yang disepakati Anderson. Sandro Gila kalau nurutin semua pendemo ini. Apa yang diomongin rival kita memang bener, Anderson bakalan bangkrut kalau kaya gini caranya!" ucap Nina ketar-ketir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Queer Heart: all about Erik
RomanceErik Herman bersikap feminim setelah sering mengagumi kecantikan wanita sejak kecil serta mengakibatkannya memiliki kekasih sejenis, tetapi patah hatinya setelah ditinggal kekasih tanpa kabar dan pertemuannya dengan Salma membuat Erik mulai berubah...