11.

1K 193 11
                                    

Tiga hari. Kemarahan Salma membuat Erik lesu selama tiga hari tiga malam tanpa kabar, baik melalui telepon atau bertemu langsung.

Sebenarnya bukan masalah bagi Erik untuk pergi ke rumah kekasihnya, meminta maaf, lalu berbaikan seperti sebelumnya. Namun, ketakutan Erik hanya pada saat dia tidak dibukakan pintu meski sudah berdiri di depan rumah Salma berjam-jam. Lalu imbas dari kekacauan hubungannya sekarang bersama Salma adalah Erik malas berangkat kerja.

Kemeja putih polos tanpa jas, rambut acak-acakan, wajah kuyu dan sama sekali tidak menggambarkan sosok Erik Herman dengan segala kemaskulinannya.

Pagi itu, melewati lobi, sosok Erik membuat dua resepsionis Anderson Group bengong. Tanpa dipanggil mereka, Erik menepi ke meja resepsionis dengan kondisi super messy dan membuat risih pandangan mata.

"Who are you?" tanya Farzana lancang. Ekspresi jijik di wajahnya lebih dinilai lancang daripada pertanyaan wanita itu sendiri.

Namun Erik hanya sekilas menatap, dan menghela.

"Pak Erik lagi nggak mood kerja?" tanya Winda lebih halus dan Erik mengangguk.

"Winda, ini bukan lagi yang namanya nggak mood kerja." Tangan Farzana bak mengusap wajah beberapa kali. "Tapi ini ... muka-muka orang kena musibah, Win!"

"Mbak Farza," bisik Winda sambil mencubit lengan Farzana.

Erik sendiri hapal seperti apa Farzana sejak wanita itu masih bersama Airin. Kompak untuk merumpi, kompak juga untuk diandalkan. Semua yang keluar dari mulutnya tidak begitu Erik ambil hati.

"Siska sudah berangkat?"

"Ada apa Bapak sama Siska?" tembak Farzana kembali mendapat cubitan kecil dari Winda.

Erik justru geli dengan Winda yang terlihat hati-hati untuk sekadar berinteraksi dengannya.

"Rumah Siska satu gang dan satu komplek dengan Salma."

"Oh, jadi pacar baru Pak Erik namanya Salma? Jadi gara-gara jadwal tubrukan antara Sesa dan Salma kemarin bikin hubungan Pak Erik kacau?"

Belum ada jawaban. Erik malahan tertarik pada ekspresi Winda yang semula terkejut, berubah sendu dalam hitungan detik, dan sangat kentara.

"Kesimpulanmu bagus," jawab Erik singkat, membuat Farzana ingin kembali bicara, tapi terlanjur dipotong Winda.

"H-harusnya Pak Erik kasih instruksi jelas. Kalau begini, saya sama Mbak Farza jadi nggak enak sama Pak Erik. M-Mbak Salma waktu itu marah," jelas Winda lemah lembut, tapi tersirat rasa kesal.

Mendengarnya menimbulkan tawa di benak Farzana yang langsung paham dan melirik Erik. Mereka seakan bicara melalui telepati. Selama ini Erik pikir dengan masa lalunya sebagai lelaki feminim, tak ada orang kantor yang akan jatuh hati kepadanya. Lalu sekarang, Erik sadar Anderson bukan lagi tempat Erik bisa menghakimi dirinya. Bahkan di kafe kopi Mario pun, dia berhasil mendapatkan Salma.

Erik tersenyum tipis. Menyisir rambutnya dengan jemari.

"Kamu benar. Lain kali saya perjelas instruksinya." Setelah itu dia pergi meninggalkan Winda yang sedikit bengong.

Wanita itu pikir Erik akan tersinggung.

"Mbak, o-omonganku bikin Pak Erik kesel, ya??"

Farzana mengangguk beberapa kali, tapi senyum mengejek terpatri di wajahnya.

"Mbak, yang bener?? Kok Mbak malah senyum!" Winda makin panik.

"Takut amat Pak Erik tersinggung, demen, ya?? Winda suka ya sama Pak Erik ...."

Queer Heart: all about ErikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang