19.

708 141 7
                                    

Lonceng berbunyi nyaring ketika Erik membuka pintu kafe kopi. Bian yang menyadari ada pengunjung datang lantas melempar senyum. Menyambut kedatangan Erik yang menatapnya sekilas sebelum memasuki kafe kopi.

"Selamat datang di kafe," sambut Bian masih ramah.

Erik langsung menyuruh Bian berhenti bicara sementara dia melangkah pelan mendekati meja di ujung kafe kopi. Mario benar tentang posisi tidur Salma yang seperti orang sakit pinggang. Pasti Salma lelah dengan segudang pekerjaan yang belum selesai. Dilihat dari layar laptop yang masih menyala meski sudah menampilkan kolom password, pekerjaan Salma masih banyak.

Telunjuk Erik menempel di bibir. Dia menatap Bian, memberikan isyarat itu sampai Bian mengangguk mengiyakan, sementara Erik berusaha keras tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Mengendap-endap untuk bisa berlutut di samping meja Salma. Perlahan dengan suara selirih mungkin, Erik mulai membenahi barang-barang Salma.

Buku-buku tebal, kalokulator, sampai kotak kacamata, dimasukkan Erik ke tas jinjing Salma yang memang berada di bawah samping meja. Selesai membereskan barang bawaan, Erik menghela lirih, pandangannya lari ke rambut tebal Salma yang menjuntai indah menutupi sebagian wajah. Salma terlelap damai sampai tidak peduli tentang kacamata yang masih dipakainya hingga tidur. Di situ Erik tahu kekasihnya sudah tak tahan begadang.

Tangan Erik bergerak gemetar. Gatal ingin menyibak sedikit rambut Salma yang menutupi sebagian wajah. Namun, baru sedikit Erik bisa mengenyahkan rambut itu, lonceng pintu kafe terdengar nyaring. Mengagetkan Salma yang bergerak spontan seperti barusaja tersengat listrik kecil.

"Selamat datang di kafe kopi," sapa Bian pada pengunjung yang barusaja datang.

Salma yang mendengar seketika linglung dan reflek membenahi beberapa barang di samping laptop. Kacamatanya miring, pandangannya buyar, serta punggungnya terasa sakit begitu ia menarik diri dari nyamannya meja kafe kopi. Tetapi setengah nyawa di tubuh Salma yang tadinya terhempas angin malam Kota Bandung ketika dirinya menyempatkan tidur sejenak, seketika langsung kembali dan menyatu dengan nyawa separuhnya. Salma terpaku ketika menyadari siapa orang yang ada di sampingnya. Berlutut dan tampak kusut.

Pandangan Salma mengedar ke beberapa arah. Ke Bian, ke empat pengunjung yang menempati beberapa meja kafe. Lalu dengan gugupnya, Salma memberesi diri sendiri mulai dari kacamata sampai rambut.

Pasti Mario, batin Salma masih belum menerima sepenuhnya tentang Erik yang ada di samping mejanya. Masih dengan posisi berlutut dan diam seribu bahasa.

"Sorry, Salma. Mungkin Americano lagi?" tawar Bian melihat Salma masih menunduk seperti orang bingung.

Salma ingin menolak, tetapi Erik lebih dulu menjawab membuat Salma meliriknya sebentar.

"Ya, Bi, thank you."

"Siap."

Erik berdiri dari posisi berlututnya. Mengambil duduk di kursi depan Salma. Perlahan dia juga menutup laptop Salma yang tampak menghalangi pandangan.

"Kamu capek, Sal."

"Yah, karna kerjaan numpuk," jawab Salma dengan tawa canggung.

"Mario mengirim pesan, jadi aku langsung ke sini tanpa pikir panjang."

Bohong, sebenarnya bahkan Erik harus berperang batin lebih dulu.

"Kayaknya kamu perlu pindah tempat untuk mengistirahatkan punggung. Mario bilang gaya tidurmu sudah seperti orang sakit pinggang."

Lagi-lagi Salma tertawa canggung. Sama seperti suasana dalam kafe. Bahkan Salma seperti bisa mendengar salivanya turun ke kerongkongan. Ia memberanikan diri menatap Erik. Salma tebak, lelaki itu barusaja pulang ke apartemen melihat kemeja lusuh yang masih dikenakan Erik. Mukanya juga berminyak. Seketika Salma membuang muka, menatap langkah Bian yang membawakannya segelas Americano.

Queer Heart: all about ErikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang