12.

1.4K 236 19
                                    

"Ini bubur kacang hijau buat kamu. Tadi siang aku sempet buat, jadi nggak ada salahnya kalau kamu nyobain."

Erik terus mengamati sang kekasih selama sibuk menyajikan makanan. Setelah mandi dan menghabiskan king burger dan kentang goreng, kini perut Erik dipaksa menghabiskan bubur kacang hijau.

Aromanya sedap. Erik tak ragu kalau rasa dari bubur kacang hijau buatan Salma juga tak kalah sedap.

"Waow." Hanya itu. Erik tersenyum tak percaya. "Kayaknya aku harus rela perut kotak-kotakku rata dalam beberapa minggu ke depan."

"Aku nggak masalah. Lagian ada atau enggaknya perut kotak-kotak itu perasaanku ke kamu bukan semata dari fisik aja."

Erik tertegun. Baru ingin mengambil sendok dan menyicipi bubur kacang hijau buatan Salma, tapi dia dibuat tertegun dengan kata-kata Salma barusan.

Speachless? No ... itu lebih dari membuat Erik tak bisa berkata-kata. Beruntung Salma membelakangi Erik, mencuci beberapa gelas kotor, karena Erik tak mau wanita itu melihatnya hampir menangis.

"Ngomong-ngomong, ada apa kamu sama tamu yang dateng barengan aku? Siapa namanya? Bimantara?" Salma menoleh, menatap Erik di balik punggungnya yang baru ingin menyuapkan bubur kacang hijau.

Lagi-lagi Erik dibuat berhenti saat ingin makan bubur.

"Bukan sesuatu yang perlu kita bahas," jawab Erik singkat. Jujur dia malas.

"Kalian ada masalah?"

"Mungkin ya, dan tidak. I told you, itu bukan sesuatu yang perlu kita bahas."

Selesai mencuci gelas, Salma berbalik. Menyandarkan bokong pada tepian tempat cuci piring. Sambil meremas serbet, ia meneliti Erik yang tengah lahap makan bubur kacang hijau.

Kadang, lelaki itu tak sadar berkali-kali memperlihatkan gaya lentik, sikap manis, yang makin membuat Salma berpikir lagi. Lalu mengingat siang di mana ia masak banyak untuk diberikan ke kantor Erik, Salma justru bertemu dengan lelaki kurus tinggi yang juga memiliki sikap manis. Bedanya dengan Erik, lelaki kurus tinggi itu punya jemari lentik dan terawat, kulit putih, serta wangi tubuhnya benar-benar seperti wanita.

Sepuluh menit Salma mulai berspekulasi sendiri. Sampai ia tak sadar kalau Erik sudah menghabiskan semangkuk bubur kacang hijau buatannya.

"Komplek perumahanmu mengijinkan lelaki menginap tanpa melapor?"

"Hm?"

"Kamu dengar pertanyaanku." Erik bangkit, mencuci bekas mangkuk bubur kacang hijaunya, membuat Salma yang berdiri di dekat cucian piring terpaksa minggir sedikit.

"Aku nggak tahu. Siapa yang mau nginep?"

"Aku. Siapa lagi?" Erik mendengkus pelan.

"Di kamarku cuma ada satu tempat tidur, emangnya kamu mau tidur di sofa ruang tamu??"

"Ayolah, Sal. Ada kalimat tentang berbagi itu indah. Kamu tinggal pilih mau tidur di sisi kanan atau kiri ranjangmu."

Salma mendelik. "Maksud kamu, kita tidur berdua di satu ranjang?!"

"Of course. Itu yang diajarkan Jonathan beberapa menit lalu," gumam Erik, lalu menoleh menatap Salma setelah selesai mencuci mangkuk.

Pandangan mereka terpaku beberapa detik. Salma tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Erik, sementara lelaki di depannya tampak tersenyum tanpa dosa.

Detik kemudian, tawa keluar dari mulut Salma yang berusaha mencubit Erik.

"Kamus percintaanmu dipenuhi nama Jonathan sama Sandro, hm? Jangan bilang setiap kamu ngerayu aku, juga kamu ceritain ke mereka, iya??" Salma gemas, terus mengejar Erik yang meninggalkan dapur karena takut dicubit.

"Apa salahnya? Mereka lebih punya pengalaman daripada aku, Sal."

"Why .... Jangan ceritain semuanya, Erik! Kamu—akh!!"

Ujung ibu jari kaki Salma rasanya nyeri bukan main setelah tersandung kaki sofa. Jantungnya berdebar. Merasakan sakit dan membayangkan punggung Erik jauh lebih sakit karena terdorong ke sandaran sofa dengan sangat menyakitkan. Lelaki itu rela jatuh duluan untuk menangkap Salma. Hanya saja ... kini posisi mereka jadi terlihat intim.

Erik membuang napas cepat. Melirik permukaan dadanya yang terasa hangat dan aneh.

"Ini juga termasuk ilmu yang diberi Jonathan. Ambil kesempatan dalam kesempitan," gumam Erik membuat sadar Salma.

Namun, sebelum Salma bisa bangkit dari atas tubuh Erik, pinggangnya sudah dikunci oleh lengan sang kekasih. Seringai licik terlihat, memancing rasa kesal Salma yang harus memiliki posisi terjatuh di atas tubuh Erik, di sofa ruang tengahnya.

"Kayaknya aku perlu ngomong sama Jonathan. Dia bikin kamu over pervert waktu deket aku."

"Hm ... mungkin. Aku memang perlu belajar banyak soal pervert."

"Terus??" Salma mendelik. "Erik, posisi kita bahaya! Kamu ngerti nggak, sih?"

Bukannya melepas Salma yang masih berontak di atasnya, Erik justru terkekeh, makin mempererat pelukannya di pinggang sang kekasih.

Kesempatan seperti itu jarang datang dua kali di waktu yang sama. Erik harus berani. Ditambah ... sesuatu yang ada di balik celana boxer-nya mulai tergugah. Damn, Salma memang wujud dari apa yang Erik cari selama ini.

"Erik Herman! Lepas ...."

"Aku suka kamu memberontak."

Salma makin mendelik. "Kamu mau lihat aku marah lagi??"

Erik menggeleng. Sekuat tenaga memperbaiki posisi agar lebih nyaman memeluk Salma, meski tangannya tetap terkunci untuk memeluk wanita itu.

"Ijinkan aku menginap dan tidur di ranjang yang sama denganmu, baru kulepas," ucap Erik sambil tersenyum licik.

"Big no! Kamu cuma mau cari kesempatan."

"Memang. Itu wajar kalau kita kekasih. Harusnya kita udah ada di langkah paling intim yang kubisa, tapi pengalamanku minim, Sal."

Mendengar itu, Salma yang tadinya memberontak mulai diam. "Kamu mau apa? Tidur dengan definisi lain di atas ranjang? Erik, ini bukan kamu yang kuken—"

"Kalau gitu kamu mengenalku seperti apa?" Dagu Erik terangkat sedikit saat memotong ucapan Salma.

"Lelaki maskulin yang lembut terhadap wanita."

"Tapi aku tetap lelaki, 'kan?"

"Sejauh aku lihat fisikmu, kamu emang lelaki, tapi—"

Kalimat Salma terpotong bukan karena Erik yang yang tak mau kalah pembicaraan. Semua karena mulut Salma tiba-tiba dibungkam. Kehangatan di bibir tadinya membuat Salma makin melotot dan kesal pada Erik. Tapi melihat sang kekasih terpejam, memagut bibirnya dengan penuh kelembutan, Salma terbuai. Ada letupan dan euforia aneh di perutnya. Menggelitikinya yang tak sadar kalau tangan Erik sudah berpindah tempat ke punggung dan leher Salma.

"Erik," bisik Salma baru tahu rasanya dicium secara intim sampai ke ceruk lehernya. Ia benar-benar tak berdaya.

"Sometimes, making others happy even in a bad way can still be said to be a reward."

Salma terkikik. Bukan semata geli saat leher dan tulang selangkanya diciumi Erik, tapi kalimat lelaki itu yang terdengar sangat tidak logis.

Kini bukan lagi di posisi tidak nyaman, Salma mulai ikut memosisikan diri lebih baik dengan duduk di pangkuan Erik. Kedua tangannya juga berani melingkari leher Erik. Sesekali bahkan Salma memainkan rambut lelaki itu. Tak peduli kalau dagu, leher dan tulang selangkanya mulai basah karena lidah nakal Erik.

"Kamu niat mandiin aku kayak kucing?" tanya Salma berkelakar di tengah-tengah momen intim mereka.

"Hm?" Kepala Erik terangkat. Dia menatap Salma polos, tapi matanya mulai berkabut. "Bisa kita pindah ke kamar?"

***

happy reading, ya!

jangan lupa klik vote, please ... untuk semangat author 🙈🌟🙏

Tq...

Queer Heart: all about ErikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang