20.

1K 158 21
                                    

Hening melanda, jadi penyakit menyengsarakan antara dua sejoli yang memilih sepakat untuk menggunakan satu tempat tidur malam ini. Setiap saliva yang ditelan terdengar nyaring, setiap embusan napas terdengar begitu berat, lalu setiap tubuh mereka bergerak, meski hanya satu inci, terasa begitu menggelegar di telinga.

Actually, this is the bad choice. No, not the sofa, but this!

Erik memberanikan diri menoleh. Rupanya Salma berusaha keras memejam, tapi merasakan dipandangi, Salma membuka matanya dan membalas tatapan Erik.

Lima detik mereka saling berpandangan. Suasana mencekam tadi akhirnya lewat setelah Salma menyeringai. Menertawakan hal yang sebenarnya sudah pernah dilewatinya bersama Erik. Tidur di satu ranjang yang sama tanpa berbuat lebih. Please, but she know how it feels so warm to be that place.

"Rasanya aneh, canggung, maaf kalau bikin kamu jadi nggak bisa tidur, Sal." Erik menatap kekasihnya bersalah.

Sementara Salma justru masih meringis, entah menertawakan apa. Membuat Erik sendiri juga bingung dan semakin merasa bersalah.

'Aneh ...."

"Apanya?"

"Ini—" Salma memberanikan berguling menghadap Erik. "Kita pernah kayak gini, kok. Dulu banget. Tidur satu ranjang walopun nggak ngapa-ngapain, just sleep."

"Ya, sebelum negara api menyerang."

Salma menggeleng dua kali. "Tinggalin hal-hal pahit di belakang. Lagi pula kemarin-kemarin aku berusaha lupain semuanya, dan aku udah lupa, kok."

Erik ikut berguling ke samping. Menatap wajah ayu Salma di bawah keremangan lampu tidur. Gatal ingin menyentuh wajah itu, hanya saja lagi-lagi canggung menguasainya. Padahal benar apa kata Salma. Mereka pernah melakukan itu bersama, dulu.

"Maaf, Sal. Nggak ada kata-kata yang bagus selain itu. Just forgive me for the hundred or million even billion words I have saying to you."

"Kumaafin."

"Sesingkat itu." Erik tersenyum kecil.

"Karna memang sesingkat itu, Rik. Apalagi kamu pernah jadi orang yang kucinta."

Wajah Erik muram sesaat. "The guy is still me, right?"

"Em ... kita pernah putus, ya? Oh, ya, ya, aku inget, kita pernah!"

"No, we have not," jawab Erik tercekat. Ekspresinya horor melihat Salma berusaha menemukan ingatan tentang kapan mereka sempat putus.

"No ... itu nggak masuk hitungan, Sal. Diskualifikasi!"

Salma terkikik lagi. Menghela napas panjang, memastikan segalanya masih sama terhadap Erik. Di bawah keremangan lampu tidur itu, Salma menemukan ekspresi sendu kekasihnya kini berubah ke wajah cemberut dan ngambek.

Telunjuk Salma tanpa sadar bergerak. Maju perlahan, menyentuh ujung hidung Erik—membuat lelaki itu terdiam kaku. Setelahnya turun ke permukaan bibir dan dagu. Salma rindu dengan Erik. Sangat kalau boleh dilebihkan.

"Kamu punya volume bibir yang ideal. Dagu yang terawat. Hidungmu juga mancung. God, you are perfect, Erik."

Yang terakhir, entah Erik salah dengar atau tidak, tapi Salma seperti mendesah. Membuat satu sinyal kecil memengaruhi keseluruhan tubuhnya. Ditambah kini Salma membelai lembut pipinya.

Very God damn it, Erik hanya manusia biasa!

"What's the meaning?" tanya Erik menahan tangan Salma di pipinya.

Manik itu kelihatan bergerak bingung. Alis Salma naik. "Kubilang kamu sempurna."

"Dan maksud dari itu?"

Queer Heart: all about ErikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang