Jum'at pagi, semangat Erik tak kalah membara dari kemarin. Meski sempat ada gangguan kabar buruk dari Farzana, tapi selagi Erik masih bisa menghindar, semuanya akan baik saja.
Erik mengangguk ke dua satpam di parkiran depan sebelum melangkah memasuki lobi. Sedikit kaget karena pagi itu lobi sedikit ramai dari biasanya. Ada gosip baru? Pikir Erik menebak.
"Pagi, Farzana, Winda," sapa Erik membuat dua resepsionis tersebut punya reaksi masing-masing.
"Pagi, Pak Erik Herman yang dermawan."
"P-pagi, Pak Erik."
"Tumben, Pak, pagi-pagi terus datengnya. Lagi ada briefing ketat, ya?" goda Farzana sangat centil.
Semua orang tahu seperti apa sosok Farzana yang terlalu aktif bicara meski tak diajak bicara sekali pun. Wanita itu ramah, ceria, dan percaya diri. Hanya saja, saat Winda dalam mode terlalu kepo, Farzana sering kesal. Teman resepsionis yang polos, wanita hamil 4 bulan tersebut sedikit risih dengan kepolosan Winda.
"Saya baru suka berangkat pagi, dan ngomong-ngomong, saya mau titip pesan kalau nanti siang ada tamu untuk saya."
Mata Farzana membulat, bahkan dengan sengaja di depan Erik, ia berani menyenggol Winda.
"Ehm, yang kemarin sore, Pak?"
"Maksud kamu?" Erik mengernyit, tapi beberapa detik kemudian paham setelah melihat alis Farzana naik-turun jenaka.
Sial, batin Erik lalu memilih menggeleng. Memangnya siapa saja yang masih mengenali Sesa di masa sekarang? Erik kira setelah Airin resign, tidak akan ada yang bisa mengulik tentang Sesa, karena hampir semua staf Anderson Group tidak tahu urusan pribadi Erik kecuali sifat dan sikap feminimnya. Yang sering menemui Sesa hanya Airin dan Farzana.
Erik berdeham tak enak. Sekilas, melirik ke Winda. Namun entah kenapa wanita polos itu sering tak mau membalas lirikan Erik. Mungkin Winda malu, pikirnya menyimpulkan.
"Bukan dia. Yang jelas jangan lupa telpon saya kalau ada tamu, oke?"
"Oke, Pak Erik," jawab Winda tersipu malu.
Erik tersenyum manis ke Winda sebelum pergi, membuat jantung wanita polos itu berdetak nyeri dan lututnya terasa lumer di tempat.
"Mbak-Mbak, aduh ...." Winda berjongkok sambil berpegangan pada kaki meja resepsionis.
"Emh! Emh! Kampungan. Baru kena senyum Pak Erik dikit aja letoy. Gimana ceritanya kalo disenyumin sama Pak Sandro Pak Akssa?" ejek Farzana sambil geleng-geleng.
***
"Hari ini berkasku lumayan banyak. Kalau harus makan keluar ...."
Erik tersenyum, sengaja memberi jeda kalimatnya demi memancing Salma. Kemarin mereka sama sekali tak punya waktu bertemu. Sekarang, Erik harap kekasihnya mau berkontribusi untuk datang ke tempat kerjanya karena pekerjaan Erik memang menggunung.
Kursi kerja Erik diputar. Senyumnya makin lebar saat mendengar tawa Salma di seberang telepon.
"Apa? Kenapa tertawa?" pancing Erik.
"Kamu tinggal ngomong kalau suruh aku ke kantor. Aku bisa masak enak buat kamu."
Tht's it! Erik menang. Helaan napas keluar dan Erik bangkit dari kursi kerjanya lalu duduk di ujung meja kerja dengan satu kaki masih berdiri tegak.
"Memang niatku begitu. Berkasku banyak, dan kekasihku baik hati, jadi makan siang nanti aku nggak perlu keluar kantor."
"Oke, ide bagus. Tapi nanti pertama kalinya aku nginjek Anderson Group. Em ... masalah kalau aku ... nggak punya kartu anggota atau yang lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Queer Heart: all about Erik
RomanceErik Herman bersikap feminim setelah sering mengagumi kecantikan wanita sejak kecil serta mengakibatkannya memiliki kekasih sejenis, tetapi patah hatinya setelah ditinggal kekasih tanpa kabar dan pertemuannya dengan Salma membuat Erik mulai berubah...