16.

1.4K 205 16
                                    

Derum mesin mobil menemani gundah gulana Erik yang hampir satu jam duduk mengamati rumah Salma. Sepi, seperti tak ada orang tapi Erik yakin kekasihnya ada di dalam rumah.

Lima menit ke depan, Erik habis sabar. Dia keluar dari mobil dan mendekati kediaman Salma yang masih tampak sepi. Tidak ada suara televisi menyala atau aroma masakan sedap yang tercium dari ventilasi dapur.

"Masih pagi, memangnya kamu di mana, Sal?" desah Erik sebelum mengetuk pintu di depannya.

Persis seperti dugaan. Pintu diketuk beberapa kali tapi tak ada satu pun respon dari dalam rumah. Perasaan sedih Erik mulai diliputi kesal. Dia tidak mau hubungannya kandas begitu saja. Salma harus tahu kejujuran Erik tentang masa lalunya selama ini, kalau memang itu yang diinginkan. Erik berusaha berdamai pada semuanya.

"Sal ...."

Pintu diketuk lagi. Kali ini ketukan sedikit lebih keras. Mungkin saja Salma semalam lembur tentang pekerjaan atau menangis tentang hubungan mereka yang bermasalah karena Sesa, lalu paginya Salma kesiangan bangun. Bisa jadi, tapi Erik mulai ragu setelah lima belas menit dia mengetuk pintu di depannya dan sama sekali tidak mendapat respon.

Erik mendesah. Tangannya ingin menggapai daun pintu dan memutarnya, seakan berbuat anarkis tapi dirinya tak sampai hati.

Perlahan Erik mundur. Masih sekali lagi menatap rumah di depannya yang dugaan Erik pasti menyembunyikan tubuh Salma entah yang sengaja diam di dalam atau memang masih terlelap. Erik tak tahu.

Namun, sebelum Erik benar-benar meninggalkan rumah sang kekasih. Selembar kertas yang sudah dilipat rapih ditinggalkan Erik pada celah pintu. Dia sudah mempersiapkan itu sebelum pagi buta tadi Erik nekat berkendara ke rumah Salma.

Erik memang salah. Dia yang salah karena tega menyembunyikan masa lalunya dari Salma yang begitu diimpikan Erik sebagai masa depannya.

Senyum sendu Erik terlihat sekilas setelah menyelipkan selembar kertas yang dibawanya tadi. Setelah itu, Erik memilih pergi. Hanya bisa berharap Salma masih mau membaca surat itu dan tidak membuangnya ke tempat sampah.

***

Setetes air mata jatuh ke telenan berisi irisan bawang. Salma menangis dalam diam di dapur rumahnya yang masih belum tercium aroma goreng-gorengan.

Salma memang kesiangan, tapi ia sudah bangun dan bersiap memasak sesuatu untuk sarapan telatnya ketika ia mendengar suara Erik di balik pintu rumahnya. Mengetuk pintu dengan sabar. Namun, yang dilakukan Salma hanya diam. Berusaha untuk tidak bersuara lebih banyak. Membuat keadaan sesunyi mungkin sampai air matanya tak bisa diajak kompromi.

Salma meninggalkan pisau dan berlutut. Menangis tanpa mengeluarkan suara begitu menyiksa diri. Sambil menyembunyikan wajahnya di pinggiran meja makan yang membuat air matanya semakin deras karena irisan bawang di telenan.

Hubungannya rusak karena kepercayaan Erik yang minim padanya. Salma yang kemarin begitu berharap tentang Erik, ia yang kemarin bahkan begitu yakin pada lelaki manisnya. Kini Salma kecewa. Sebegitu besarnya Salma memberi posisi paling indah untuk Erik di hidupnya, tetapi Erik tidak membalasnya dengan baik.

***

"Well, ini lebih rumit dari pada alur drama psikopat Korea. Ceritamu simple, masalah satu dan cukup berat, tapi solusinya masih belum ketemu."

Mario melipat kedua tangan di dada. Menatap Erik sejurus setelah lima belas menit lalu ia bisa menemani Erik di jam istirahat. Temannya kelihatan tidak baik saja.

"Aku tahu. Sangat tahu, Mario. Sesa yang merusak segalanya."

"Tanpa campur tanganmu, Sesa nggak bisa berbuat lebih untuk merusak segalanya, Rik. Ini semua karena kamu nggak terbuka sama Salma."

Queer Heart: all about ErikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang