BAB 49: Bertemu Lagi

178 18 9
                                    

8 Bulan Kemudian.

"Kamu yakin mau pergi?"

Untuk kesekian kali Fatir dengar pertanyaan itu keluar dari bibir wanita yang butuh beberapa bulan meluluhkan hati Fatir untuk menerimanya. Fatir tersenyum seraya memasukan beberapa baju yang sudah disiapkan ke dalam koper.

"Iya, Tante." katanya pada Rani. Ya, Rani. Ibu tirinya. Hampir tujuh bulan ini Fatir memutuskan untuk menurunkan egonya dan menyetujui permintaan Maha untuk tinggal bersama. Bersama Rani dan adiknya, Arjuna. Yang pada akhirnya, kebaikan hati Rani dan perhatian yang wanita itu berikan padanya, pada Maha dan pada Juna mampu membuka mata Fatir bahwa Rani tidak seburuk yang pernah ia pikirkan.

"Kamu kuliah di Jakarta aja emang nggak bisa, ya? Juna pasti kangen banget kalo kamu pergi."

"Ran, biarkan saja Fatir pergi. Dia sudah memutuskan." di sebelah Rani, Maha berusaha membuat Rani mengerti.

"Yunani, loh ini. Jauh banget." Rani mengerucutkan bibirnya, Maha menghela napas dan menahan tawa. Menyadari bahwa Rani pun sudah menganggap Fatir anak sendiri.

Fatir terkekeh kecil. Usai mengemasi barang-barangnya untuk kepergiannya besok, ia berdiri dan menghampiri Rani. Berdiri di hadapan wanita itu dengan mata teduh.

"Setahun sekali, saya pasti pulang." kata Fatir meyakinkan. Rani menghembuskan napas panjang, dia berusaha mengerti walaupun hanya setengah hati.

"Kamu mirip seperti ayahmu." Rani melirik Maha yang menatap bingung. "Kalau sudah memutuskan sesuatu, tidak bisa diganggu-gugat."

Maha dan Fatir sontak tertawa. Delapan bulan tinggal bersama Ayah, Ibu dan Adik tirinya, membuat Fatir merasa nyawanya dan hidupnya datang kembali. Setelah ia mati sebab kepergian Amelia dan kepergian gadisnya. Terlalu munafik jika masih menyebut gadis itu sebagai miliknya setelah apa yang sudah ia lakukan, bukan? Tapi... bagi Fatir, gadis itu, masih gadisnya.

Namun satu hal yang pasti, seperti yang Rani bilang tadi bahwa watak Fatir mirip seperti ayahnya: jika memutuskan sesuatu tidak bisa diganggu-gugat, maka keputusannya yang satu ini pun begitu. Ya, keputusan menjadikan gadis itu miliknya. Keputusan yang sudah ia ambil sejak awal. Keputusan untuk hidup bersamanya sampai 70 tahun lagi.

Meski Fatir membiarkan gadis itu pergi, namun keputusannya tidak pernah berubah. Gadis itu hanya perlu bersabar. Fatir akan kembali setelah sudah benar-benar sembuh dari semua luka. Ia akan kembali setelah "rumah berantakan"-nya itu, menjadi rumah yang layak untuk ia tinggali berdua, bersama gadisnya.

Sebentar lagi. Ya, sebentar lagi.

****

"Gue ditinggal sendirian." kata Rangga seraya menenggak segelas Captain Morgan lalu menyesap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara.

"Januari pergi. Lo juga pergi segala ke kampung halamannya Aristoteles itu, padahal kampus di Jakarta juga banyak!" celoteh Rangga lagi setengah mabuk.

Di sebelahnya, Fatir tersenyum kecil. Matanya tak lepas terpaku pada seorang gadis yang sedang duduk di kursi bar di ujung sana seorang diri. Mata gadis itu terfokus pada bartender yang tengah mempertontonkan caranya meramu minuman. Sesekali nampak gadis itu bertanya pada sang bartender, sesekali terkekeh. Yang jelas gadis itu nampak semakin bersinar meski tanpa ia di sisinya.

Tidak, Fatir tidak kecewa dengan itu. Ia senang melihat semesta Annisa baik-baik saja walau tanpanya. Meski kenyataannya, tidak ada yang baik-baik saja bagi sebagian semesta Fatir semenjak kepergian gadis itu. Namun dari awal, tujuan Fatir melepas Annisa adalah hanya untuk melihat gadis itu bahagia.

MorphineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang