Bab 10: Tembok Tinggi

199 20 1
                                    


***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Derit pintu kayu terdengar nyaring tepat ketika Fatir mendorong pintu kamar Amelia. Melihat wanita itu yang sedang duduk menghadap ke jendela. Tangannya sibuk dengan benang dan jarum jahit, menyulam kain.

Fatir tersenyum, berjalan menghampiri Amelia dengan segelas susu vanilla di tangannya. 

"Pagi, Ma." sapa laki-laki itu hangat, bersimpuh di hadapan Amelia yang senyumnya setia merekah.

"Diminum susunya, Ma." katanya, meletakan segelas susu itu di atas nakas, kemudian mengamati Amelia yang dengan lihai menyulam kain.

Lantas ia tersenyum. Melihat Amelia sekarang, membangkitkan kenangan saat ia masih kecil. Dulu setiap pagi setelah Ayah pergi kerja, Amelia akan mulai menyulam kain. Katanya akan membuatkan baju untuknya yang masih berusia 6 tahun kala itu. Dan Fatir akan setia mengamati wajah cantik Amelia sambil sesekali menggoda wanita itu.

"Aku udah lama nggak lihat Mama kaya gini." kata Fatir, matanya tak lepas dari wajah Amelia yang tersenyum.

"Mama bikin apa? Baju?"

Amelia mengangguk, "Buat anak saya nanti." jawab Amelia. Fatir tersenyum kecil, menundukan mata melihat lantai. 

"Oh iya, kamu kenapa selalu panggil saya dengan sebutan Mama?" tanya Amelia. "Saya jadi berasa udah punya anak beneran, padahal nikah aja belum lama ini." Amelia terkekeh.

Lagi-lagi Fatir tersenyum miris. "Boleh, kan aku panggil Mama?"

Amelia nampak berpikir, menatap wajah Fatir. "Hmm, boleh." wanita itu lalu tersenyum. "Karena kamu kelihatannya anak baik-baik."

Fatir menggigit bibir, menyembunyikan rasa sesak yang kian mendesak. Mengambil tangan Amelia untuk segera ia genggam erat. 

"Makasih, Ma." gumamnya tersenyum kecil.

"Karena kamu panggil saya Mama, berarti kamu anak saya, bukan? Kalo gitu saya akan kasih kamu wejangan pagi."

Alis Fatir terangkat naik, mengulum senyum. "Aku dengerin, Ma."

"Tetaplah menjadi laki-laki yang bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang kamu lakukan. Sekecil apapun perbuatan itu." kata Amelia.

"Apalagi jika perbuatanmu sudah menyangkut orang lain. Jangan sampai orang itu merasa sedih, kecewa ataupun rugi."

Fatir terdiam, menyimak semua perkataan Amelia. Membuatnya tertegun, mengaitkannya pada seorang gadis yang baru saja Ia rugikan baru-baru ini. 

"Kamu mau, kan janji sama saya untuk selalu jadi laki-laki yang bertanggung jawab?" tanya Amelia, membuyarkan pikiran Fatir.

"Bagi saya, laki-laki yang bertanggung jawab itu keren!" senyum Amelia semakin mengembang lebar. Tak ayal mengundang Fatir untuk tersenyum juga.

Bagi Fatir, tidak ada hal di dunia ini yang membuatnya bahagia selain Amelia yang merasa bahagia. Apapun akan ia lakukan untuk kebahagiannya itu.

MorphineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang