Hal terakhir yang ia ingat sebelum pingsan adalah wajah cemas Fatir yang begitu nyata. Berdosa tidak jika melihat Fatir cemas membuat Annisa senang? Jika iya, maka Annisa sudah melakukan dosa. Ia senang. Tandanya Fatir peduli, kan?
Gadis itu terkikik geli mengingat wajah cemas itu. Membuat beberapa mata orang di koridor mau tak mau menoleh ke arahnya. Iya, Annisa sedang berjalan di koridor alih-alih berbaring di ruangannya.
Setelah ia bangun tidak ada siapapun di sampingnya. Lalu datang suster yang menyampaikan pesan bahwa orang yang datang bersama dirinya harus pergi sebentar, dan orang itu adalah Fatir. Setengah jam Annisa menunggu dan ia bosan. Maka jadilah ia di sini. Seorang gadis dengan wajah lebam berkeliaran di koridor sendirian.
Tapi tujuannya adalah kamar Amelia, Mamanya Fatir. Kebetulan ia dibawa ke rumah sakit yang sama. Gadis itu mendorong pintu untuk masuk. Betapa terkejutnya ia melihat Amelia tengah mengobrol dengan suster Ghina di sampingnya.
Amelia sudah bangun.
Annisa langsung tersenyum girang, Fatir pasti senang. Lalu ia berdehem dan mengetuk pintu. Dua wanita di sana sontak menoleh.
"Permisi..." ujar Annisa sopan.
"Annisa, sini masuk!" ajak Suster Ghina seraya melambaikan tangannya. Annisa melangkah masuk, ia tersenyum ramah ketika berdiri di hadapan Amelia yang nampaknya bingung.
"Hallo, Tante. Kenalin, aku Annisa temannya Fatir." Annisa menyodorkan tangannya di hadapan Amelia. Ada beberapa jeda keraguan pada wanita itu yang masih menatapnya bingung.
"Ibu tenang aja, anak ini baik, kok. Annisa yang bantu saya bawa Ibu ke sini." kata Suster Ghina. Kalimat itu berhasil membuat Amelia tersenyum, lantas dengan cepat menjabat tangan gadis itu.
"Saya Amel. Terimakasih, ya." untuk pertama kalinya Annisa mendengar suara Amelia. Suaranya lembut sekali, senyum wanita itu cantik, mengingatkannya dengan senyum Fatir.
"Kamu teman sekelasnya?" Amelia bertanya.
"Iya, Tante."
"Fatir anaknya baik banget, ya."
Iya memang, Fatir sangat baik. Orang pertama yang percaya dengan impiannya. Dia juga yang membantu Annisa mewujudkan itu tanpa pikir panjang. Fatir sangat baik, terlalu baik. Pujian yang tertuju untuk Fatir itu, membuat Annisa tersenyum.
"Makanya saya sering berdoa supaya anak saya nanti baiknya sama seperti Fatir. Doain saya, ya semoga bisa cepat punya anak." Amelia terkekeh.
Tapi senyum Annisa luntur berganti dengan wajah bingung. Kalimat Amelia selanjutnya membuat Annisa tertegun. Apa maksudnya?
Terdengar Suster Ghina berdehem, wanita itu tersenyum pada Annisa dan berkata, "Bu Amel mau lanjut menenun? kebetulan saya bawa peralatannya."
"Saya masih mau ngobrol sama temannya Fatir, lho, Ghin. Tapi, boleh, deh saya lanjut." Amelia terkekeh senang seraya menerima kotak berisi jarum dan benang.
"Kebetulan saya bisa menenun, makanya saya buatkan baju buat anak saya nanti, Annisa." ujar Amelia lagi. Annisa tersenyum kikuk, bingung. Dia tidak mengerti sama sekali.
"Kita ngobrol sebentar, ya." lalu Suster Ghina membawa Annisa keluar ruangan dan mulai menceritakan semuanya.
"Fatir belum cerita apa-apa sama kamu tentang Bu Amel?" tanya Suster Ghina, Annisa menggeleng. Nampak Suster Ghina menghela napas, wanita itu membawanya duduk di kursi tunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Morphine
Teen FictionLaki-laki pertama yang mencuri ciuman pertama Annisa Celesta si gadis bar-bar adalah si pemabuk Fatir Hugo Mahendra. Seorang laki-laki yang berpacaran dengan primadona sekolah bernama Megan. Akibat ciuman itu Annisa sangat membenci Fatir. Berbeda de...