Annisa menutup sambungan teleponnya. Barusan ia menelepon Dicky untuk memberitahukan bahwa ia resmi berhenti dari Red Topaz. Dicky cukup kecewa namun laki-laki itu menghargai keputusan yang diambil Annisa.
Gadis itu meletakan ponselnya di atas meja belajar. Kemudian membuka buku pelajaran dan mulai membaca. Annisa akan menuruti semua perkataan Ibu. Ia akan berhenti melakukan hal yang tidak Ibu suka.
Jujur saja rasanya sangat berat harus melepaskan impiannya itu. Tapi, baginya, tidak ada yang lebih penting dari pada Sita. Baru saja ia berhasil tenggelam dalam bacaannya, pintu kamar diketuk dari luar. Pintu terbuka, menampakan Ayah berdiri di daun pintu.
"Kenapa, Yah?" tanya Annisa.
"Kamu siap-siap sekarang." katanya. Alis Annisa bertaut.
"Mau kemana?"
"Di bawah ada temen kamu, katanya mau ajak kamu jalan-jalan. Ayah beri izin asal bisa jagain kamu, dan pulang gak lebih dari jam sebelas."
"Siapa?"
"Namanya Fatir."
Mata Annisa sontak membulat. Laki-laki itu... penuh kejutan.
"Tapi—"
"Maafin kata-kata Ibu kemarin, ya."
Annisa menghela napas berat, mengangguk. "Aku yang salah."
"Sebagai tebusan maaf dari Ibu, kamu harus cari penghiburan. Sana, jangan buat teman kamu lama nungguin kamu." ujar Ayah tersenyum simpul. Annisa menghela napas, dia menganguk, Ayah berlalu.
Fatir. Laki-laki itu. Baru saja ia ingin mengirim pesan pada Fatir untuk membatalkan rencananya, tapi satu pop up tiba-tiba muncul yang kebetulan dari laki-laki itu.
"Gue izin sama Om Sandi dengan jaminan KTP gue. Plis jangan bikin gue malu minta kembali KTP gue karna lo gak mau pergi."
***
Entah motivasi apa Fatir melakukan ini. Ia mau meminta izin secara langsung pada Ayah Annisa untuk membawa gadis itu pergi. Fatir hanya ingin menghibur gadis yang sedang bersedih itu.
Kini, ia berkendara membelah Jakarta bersama Annisa di boncengannya yang diam setelah tadi banyak bertanya. Setelah Fatir bilang jika konsetrasinya akan hilang apabila gadis itu banyak bertanya, akhirnya Annisa diam. Duduk manis di belakang sembari memegang pundak Fatir.
Perjalanan dari rumah Annisa memakan waktu satu jam untuk sampai ke sebuah tempat di daerah kepulauan seribu. Lebih cepat sampai karena Fatir yang lihai menyalip kendaraan lain.
"Sampe." Fatir menghentikan motornya dan membuka helm. Annisa sudah turun dari motor dan menatap takjub debur ombak pantai di seberangnya.
"Ini dimana?" tanya gadis itu antusias.
"Suatu tempat yang paling enak buat teriak."
Lebih tepatnya, sebuah tempat sepi yang sering Fatir kunjungi beberapa tahun yang lalu ketika mencoba menerima kondisi Amelia dan kepergian Maha Mahendra. Tempat yang menjadi saksi bisu kegelapannya.
Annisa terkekeh, gadis itu berlari mendekati bibir pulau. Angin pantai malam ini lumayan menusuk kulit. Dari sini, Fatir tersenyum simpul, memperhatikan gadis itu yang asyik merendam kakinya dalam air. Gadis itu leluasa bergerak karena pulau ini sepi. Penduduk tinggal agak jauh dari pantai. Tidak berbeda jika di siang hari. Hanya ada segelintir orang yang datang ke pulau ini.
"Suka?" Fatir bertanya kala ia sudah berpijak di sebelah Annisa.
Gadis itu mengangguk antusias, pertanda suka. "Lo sering kesini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Morphine
Teen FictionLaki-laki pertama yang mencuri ciuman pertama Annisa Celesta si gadis bar-bar adalah si pemabuk Fatir Hugo Mahendra. Seorang laki-laki yang berpacaran dengan primadona sekolah bernama Megan. Akibat ciuman itu Annisa sangat membenci Fatir. Berbeda de...