Fatir berharap pagi tidak akan pernah datang. Biar saja malam terus ada agar ia bisa memiliki waktu lebih banyak meyakinkan gadisnya bahwa ia akan pulang. Bahwa waktu empat tahun tidak akan berjalan lama. Fatir akan kembali secepatnya dan akan menetap pada 'rumahnya'.
Namun bagi Annisa, delapan bulan sudah cukup bagi Fatir memporak-porandakan hatinya. Ia sudah lelah menanti dan menerka tanpa pasti. Jika ditambah empat tahun lagi Annisa lebih memilih menyerah. Bukan karena ia sudah tidak menyayangi Fatir, namun waktunya sudah cukup lama berhenti untuk laki-laki itu. Ia tidak ingin membuang waktu lagi.
Hanya tinggal menunggu waktu di mana jarak antara Annisa dan Fatir akan terbentang sedemikian jauh. Usai mengantarkan gadis itu pulang, Fatir akan langsung ke bandara dan terbang menuju negara yang hanya ada orang asing.
Tidak ada yang bicara di dalam mobil ini. Fatir terus melajukan mobil dengan lambat, dia tidak ingin waktu berlalu cepat. Sementara Annisa sibuk menatap luar jendela dengan bisu. Membiarkan cahaya matahari menerpa kulitnya dan mengeringkan air matanya.
Kisah yang diawali dengan kelancangan pada akhirnya berakhir dengan gamang. Pilihan-pilihan itu sudah ada di depan mata dan keduanya telah memilih. Annisa memilih melepaskan Fatir dan Fatir memilih untuk menerima pilihan Annisa.
Mulai besok, hari-hari Annisa sudah tidak akan ada Fatir di dalamnya. Tidak akan ada lagi kerumitan laki-laki itu, tidak akan ada lagi pelukan dan kecupan hangat darinya. Dan Fatir pun begitu. Tidak akan ada lagi gadis bar-bar yang mengisi hari-harinya yang hanya sephia. Semuanya sudah selesai.
Mobil Fatir berhenti tepat di depan pagar putih sebuah rumah yang dulu sering ia datangi. Untuk menjemput gadis itu pergi ke Red Topaz secara diam-diam, tentu saja. Annisa tidak langsung turun. Gadis itu diam beberapa saat menikmati tiap detik momen yang akan berakhir ketika ia membuka pintu nanti.
Menikmati saat-saat bersama Fatir karena setelah ini Fatir sudah bukan miliknya lagi.
"Kita udah sampe." kata Fatir membuyarkan lamunan Annisa yang sesegeranya menoleh menatap laki-laki itu.
Gadis itu tersenyum, "Kalo gue buka pintu ini sekarang, cerita kita bakalan benar-benar berakhir, Fatir."
Fatir menggigit bibir, merasakan sesak yang bergerilya dalam dadanya lalu menghunus jantungnya berkali-kali.
"Kita gak bisa coba sekali lagi?" pinta Fatir, bahunya naik turun. "Aku tahu yang aku lakuin ke kamu itu jahat, tapi aku minta kamu kasih aku kesempatan sekali lagi."
Annisa pun tersenyum, dia menggeleng.
"Sa, aku sayang kamu." kali ini Fatir menggenggam tangan Annisa, memohon. Ia tidak ingin kehilangan gadis itu.
"Annisa... Satu kesempatan lagi. Ya?"
Dan Annisa tetap menggeleng. Dia melepaskan genggaman Fatir dengan lembut.
"Kamu harus cepat ke bandara, nanti ketinggalan pesawat." ujar gadis itu, lalu dengan sekali gerakan membuka pintu mobil dan melangkah pergi.
Fatir tidak berhenti sampai di sana. Laki-laki itu mengikuti Annisa sampai di depan gerbang, menarik tangan gadis itu dan memeluknya erat.
"Seenggaknya kasih kesempatan aku buat meluk kamu kayak gini sebelum semuanya berakhir." ujar Fatir seraya membenamkan wajah gadisnya di dalam dadanya.
Fatir memeluk Annisa erat, mengusap puncak kepala gadis itu dan mengendus aroma ceri rambut Annisa yang akan ia rindukan nantinya. Sementara Annisa hanya diam berusaha menahan tangis yang mendesak keluar.
"Fatir kamu harus pergi." kata Annisa berusaha melepaskan pelukan Fatir. Meski pada awalnya sulit, namun Fatir menuruti apa yang Annisa katakan.
"Jaga diri baik-baik. Makan teratur, belajar yang rajin." Annisa tahu senyum yang ia perlihatkan ini akan terlihat sangat menyeramkan, tapi itu lebih baik dari pada perpisahan ini harus diisi dengan air mata.
"Jadi kamu mau cerita kita berakhir sampai sini?"
Annisa mengangguk, "Kita dimulai dari sebuah kesalahan dan berakhir dengan sebuah kesalahpahaman. Aku rasa cukup sampai sini."
"Aku gak akan pernah merasa cukup."
"Perlahan-lahan kamu akan merasa cukup."
"Nggak akan pernah, Annisa!" tanpa sadar suara Fatir meninggi. Laki-laki itu menatap Annisa tepat di bola mata. Annisa pun begitu. Beberapa saat, keduanya menikmati itu.
Perlahan tapi pasti Fatir mendekat, memangkas jarak antara keduanya lalu berbisik,
"Aku egois, dan aku mau terus egois." ujar laki-laki itu kemudian tangannya bergerak mengelus pipi Annisa lembut. Hidung mereka saling bersentuhan. Fatir memakan jarak yang tersisa dan menempelkan bibirnya di atas bibir Annisa yang sontak terkejut.
Mata gadis itu membulat, dia berusaha menjauhkan Fatir dari dirinya tapi Fatir terlalu kuat hingga akhirnya Annisa menyerah. Dia membiarkan Fatir melakukan kegilaan ini sekali lagi dan untuk yang terakhir kali.
Keduanya tenggelam pada perasaan masing-masing. Pada pilihan yang akhirnya dipilih, pada kenangan, pada kisah yang pernah terjadi, pada jarak yang akan sesegeranya terbentang, dan pada perpisahan yang akan memakan habis kisah cinta ini.
Napas Fatir dan napas Annisa memburu, keduanya sama-sama gemetar ketika akhirnya ciuman itu berakhir. Keduanya saling tatap untuk yang kesekian lama. Napas yang tidak teratur dan sorot mata yang sama-sama memancarkan salam perpisahan adalah tanda bahwa semua telah selesai.
Tidak ada lagi yang bersuara sebab keduanya tahu ujung kisah ini akan sampai kemana.
Sesegeranya Annisa membalikan badan membelakangi Fatir dengan air mata yang sontak turun membasahi pipi. Gadis itu membekap mulutnya sendiri, meredam lirih yang akan terdengar menjadi. Ia mengizinkan Fatir pergi. Ia mengizinkan kisah ini berakhir sampai di sini.
Fatir menarik napas panjang sekali lagi. Berat baginya untuk melangkah dan meninggalkan gadis itu sekali lagi. Namun, mungkin takdir semesta memang sengaja ditulis seperti ini. Ia dan Annisa sesegeranya akan menjadi orang asing.
Hidup memang tidak selalu tentang apa yang kita mau. Fatir menginginkan Annisa namun gadis itu memilih untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Tidak ada keputusan yang salah, yang ada hanya biarkanlah.
Pada akhirnya Fatir berbalik, berjalan tanpa ragu menuju mobil untuk sesegeranya terbang ke negeri orang. Dan Annisa tetap pada tangisnya dan desakan untuk berlari mengejar Fatir dan memeluk laki-laki itu sekali lagi. Kisah ini hanya tinggal kenangan sekarang.
Kisah dua insan yang tadinya sedekat nadi, kini menjadi sejauh matahari sudah benar-benar berakhir. Tidak ada lagi Annisa dan Fatir.
Tidak ada lagi.
Tidak ada lagi.
TAMAT.
COIIIII?!!!!! MORPHINE TAMAT? YAKIN GA SIH? AKU TUH PERCAYA GAK PERCAYA CERITA INI BISA SELESE!
Fren aku tahu pasti endingnya morphine ngeselin banget karena cuma begini tapi namanya juga hidup kadang-kadang ga berjalan sesuai apa yang kita mau :p
Terima kasih aku ucapkan untuk teman-teman pembacaku yang sudah bersedia menyempatkan diri baca cerita absurd ini sampe tamat. Udah mau sabar walaupun aku tuh lama banget update-nya. Makasih juga udah mau komen, jadi ini lapak rame :))) aq syg bgt sm qm teman2!
Kita ketemu di ceritaku yang selanjutnya yaaa. Jgn bosen bosen sama ceritaku i lup u see you! ❤️❤️❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Morphine
Teen FictionLaki-laki pertama yang mencuri ciuman pertama Annisa Celesta si gadis bar-bar adalah si pemabuk Fatir Hugo Mahendra. Seorang laki-laki yang berpacaran dengan primadona sekolah bernama Megan. Akibat ciuman itu Annisa sangat membenci Fatir. Berbeda de...